Jumat, 09 Juli 2010

Susi Pudjiastuti Juragan Pesawat dari Pangandaran (Bagian 6)





“WELCOME TO MY PARADISE!”

Keharusan untuk menyediakan ikan segar membuat Susi terpikir untuk membeli pesawat terbang. Mengapa pula ia membuka sekolah pilot sendiri?

PULANG KAMPUNG BAWA HELI

Kerepotan saat mudik adalah hal biasa di Indonesia. Tetapi, tak demikian dengan Susi Pudjiastuti. Awal Desember silam misalnya, ia mudik bersama anggota rombongan yang lumayan banyak. Selain Christian, tampak si bungsu Alvi dan Arman sang cucu. Ikut pula Santi, menantu Susi yang sekaligus ibu Arman.

“Mudik nang Pangandaran. Leyeh-leyeh sembari ngempani bebek atawa iwak di kolam. Rak iya to, Bu…?” ucap Susi, sembari menggamit ibunya, Hajjah Suwuh Lasminah. “Pegawean nang Jakarta ora ono habis-habise, omah nang kampung juga perlu diopeni,” lanjut Susi, berbahasa Jawa, yang maksudnya… “Mudik ke Pangandaran untuk relaks sambil memberi makan bebek dan ikan di kolam. Soalnya, namanya pekerjaan di Jakarta takkan ada habisnya. Rumah di kampung juga perlu diperhatikan….”

Walau lahir dan besar di Pangandaran, Jawa Barat, yang berbasis budaya Sunda, dalam keseharian Susi terbiasa berbahasa Indonesia campur bahasa Jawa dengan kerabat dekatnya. Namun, dengan tetangga dan staf lokalnya, Susi berbahasa Sunda. Sementara kepada relasi bisnisnya, ia berbahasa Inggris. Bahkan, saat ngobrol dengan suaminya, kerap melompat kalimat-kalimat bahasa Jerman dari lengkung tipis bibirnya yang biasa tersalut lipstik warna gelap.

Ternyata, tak cuma anggota keluarga, Susi juga memboyong tiga orang suster (pendamping sang ibu, anak, dan cucunya), Gunanjar yang corporate secretary sekaligus asisten pribadinya, dua orang staf head-office-nya di Jakarta, plus tiga orang pemuda-pemudi Eropa yang menurut Susi datang untuk belajar di rumahnya.

Untuk urusan transportasi, Susi nggak perlu repot. Di apron Halim Perdana Kusuma, selalu terparkir beberapa pesawat miliknya, siap take-off mengangkut ‘rombongannya’ menempuh jarak sekitar 325 km, dalam tempo satu jam. “Dulu, dengan bus atau pick-up bak terbuka, saya rutin menempuhnya tiap hari, minimal sembilan jam baru sampai,” kenang Susi, dengan mata menerawang jauh.

Dua belas anggota rombongannya masuk ke pesawat fixed-wing Cessna Caravan, dengan sepasang pilot dan co-pilot. Sementara Susi masuk ke kabin helikopter Grand Agusta buatan Italia, satu dari dua heli yang ia pesan di Paris Air Show 2009, bersamaan pemesanan 30 buah Cessna Caravan dan sebuah Avanti II. “Baru seminggu tiba di Jakarta,” ungkap Susi, tentang pesawat rotor pertama yang dimilikinya itu. Untuk pertama kalinya pula heli yang akan dioperasikan sebagai VIP charter flight (3.500 dolar AS/jam) ini diajak mudik, setelah sepanjang 5 hari sebelumnya dicoba mendarat di helipad di puncak-puncak gedung tinggi di Jakarta.

“Ini heli tercepat di kelasnya. Harganya 7 juta dolar AS,” bisik Susi, seolah tak ingin suaranya didengar orang lain. Padahal, di kabin mewah berkapasitas 5 seats itu cuma diisi empat penumpang, yakni Susi dan anak bungsu serta cucunya, plus femina. Sementara di cockpit, duduk Christian sebagai pilot, didampingi seorang ahli mesin yang dikirim langsung oleh pabriknya di Italia.

Udara cerah mengambang selepas keluar dari ‘sabuk’ asap yang menyelimuti Jakarta. Meninggalkan jalan tol Jagorawi, Rancamaya, merayapi hutan-gunung Gede-Pangrango. “Gusti Allah amat baik, sudah mewujudkan mimpi kecil saya, melayang tinggi di pucuk-pucuk kelapa, melihat pucuk-pucuk gunung dan sawah seperti burung terbang. Saya bersyukur…,” katanya, lirih, sembari pandangannya melompat ke luar jendela.

Terbang di ketinggian sekitar 350 meter dari permukaan tanah, Susi selalu menikmati tamasya udaranya. “Seperti mimpi rasanya,” gumamnya, mengenang masa kecilnya, teriak-teriak ‘minta duit’ tiap kali ada kapal terbang lewat. Sekarang, ia berada di pesawat impiannya itu, melongok ke bawah seolah mencari-cari kalau-kalau ada sosok Susi kecil di bawah sana.

Bersambung

0 komentar:

Posting Komentar