Selasa, 10 Agustus 2010

Busana Muslim, Hasil Sepanjang Musim


Ajine Rogo Soko Busono, ungkapan bahasa jawa yang bermakna bahwa wibawa atau performa seseorang berasal dari pakaian yang dikenakan. Tapi bagi wanita, penampilan seseorang dengan busana yang dikenakannya, justru lebih dari sebatas ungkapan tersebut.

Seperti mode busana pada umumnya, tren busana muslim juga tergolong cepat. Saat ini, model busana muslim makin bervariasi, termasuk bahan dan aksen yang digunakan. Ini pula yang membuat pasar produk ini terus berkembang.

Produsen banyak bermunculan. Mereka memproduksi busana dengan sulam bordir, sulam pita, lukis, payet hingga manik-manik. Namun tentu pembeli akan memilih produk yang kreatif dan beda.
“Bingung, banyak pilihan dengan model baru-baru. Bagus-bagus lagi,” ujar Eka Viryana, sambil membolak-balik beberapa busana muslim yang dipajang di salah satu gerai di Royal Plaza Surabaya, Kamis (6/5).

Ada kebanggaan tersendiri yang dirasakan karyawati salah satu perusahaan periklanan di Surabaya ini dengan perkembangan tren busana muslim. Selain memiliki banyak koleksi, juga membuatnya kian percaya diri dalam berbusana.
“Bahannya juga banyak pilihan, mulai bahan kaos, chiffon, hingga katun. Harganya murah-murah. Kalau ingin yang eksklusif, tak sulit memesan sendiri ke produsen. Saat ini cukup banyak,” urai Ana, panggilan akrab Viryana.

Ana adalah salah satu dari sekian banyak konsumen busana muslim. Menawarkan tren dan sesuatu yang beda, memang kini dicari konsumen. Itu pula yang membuat kalangan produsen berlomba-lomba menciptakannya.

Seperti yang dilakukan Oky Mia Octaviany. Produsen busana muslim merek by ‘Oky dan Jiddan’ ini sadar betul, ada sebagian wanita yang tidak menyukai memakai busana yang banyak dijual di pasar.
“Oleh karena itu, saya lebih menawarkan eksklusivitas. Selain kualitas bahan, jahitan yang halus dan rapi juga menentukan, sehingga produk saya nyaman dipakai,” kata Oky yang menggeluti usaha busana muslim sejak dua tahun lalu itu.

Bahan yang dipilih Oky cukup beragam, mulai bahan kaos, katun, corduroy, siffon, hingga jins. Baginya, bahan yang dipilih disesuaikan dengan momen dan kenyamanan penggunanya. Bahkan saat ini, tersedia busana muslim lukis, baik untuk pesta maupun santai.

“Untuk lukis, sengaja saya buat limited, sehingga tidak berkesan ‘pasaran’. Bahkan bila pelanggan meminta gambar/lukisan yang eksklusif, saya juga dapat menyediakan,” ungkap wanita kelahiran 12 Oktober 1971 ini.

Meski begitu, bukan berarti ia menutup rantai pemasaran. Pasalnya, produk Oky juga bisa dibeli melalui sistem keagenan, selain dijual secara ritel di salah satu gerai di Royal Plasa dan Jembatan Merah Plasa.
Dengan 13 tenaga kerja yang dikerahkannya, Oky mampu memproduksi sekitar 20-35 baju setiap harinya. Harga yang dipatok cukup terjangkau mulai Rp 35.000-300.000 per piece.

Sementara untuk menciptakan rasa penasaran konsumennya, Oky berusaha konsisten dengan menciptakan sedikitnya dua desain baru setiap minggu untuk masing-masing merek.

“Semua saya kerjakan sendiri, dan belum berniat memakai designer orang lain. Karena saya merasa bebas dalam berkarya, dengan hasil rancangan pribadi,” ulas Oky yang mengaku rata-rata bisa membukukan omzet penjualan Rp 5-10 juta per bulan.

Soal segmen pasar, ia lebih memilih mewadahi semuanya, baik itu remaja, ibu muda, hingga wanita dewasa. Ia pun berkeyakinan, sampai kapanpun busana muslim tetap banyak peminatnya.
“Karena setiap wanita ingin tampil cantik dan menarik, busana adalah salah satu penunjang penampilan wanita yang utama,” imbuh Oky.

Butuh Telaten
Lain Oky, lain pula Faiz Yunianti. Pemilik Faiza Bordir di Bangil, Pasuruan ini, terus bertahan dan mampu mengembangkan usaha bordirnya hingga sekarang.

“Pakaian, bagi seorang wanita memiliki nilai yang sangat berarti untuk penampilannya, agar dapat tampil anggun, dan elok. Kalau sudah seperti itu, tidak makan tidak masalah, yang penting tampil ayu,” kata Faiz, Kamis (6/5).

Bahkan, seiring perkembangan zaman, Faiz tidak lagi sebatas membuat pakaian wanita dan busana muslim saja. Tetapi mulai menggarap jilbab (kerudung) bordir, mukena bordir, sepatu bordir hingga penghias peralatan rumah tangga.

Penggemar bordir pun tidak hanya kaum Hawa saja. Faiz paham betul bahwa kaum Adam kini gemar berdandan dan ingin tampil modis di berbagai kesempatan. Karena itu, ia juga memproduksi baju biasa hingga baju koko bermotif bordir.
“Makanya tidak heran jika industri bordir meski mengalami pasang surut karena kondisi perekonomian dan lainnya, tapi terus berkembang dari hari ke hari,” tutur ibu dengan tiga anak yang sudah beranjak dewasa.

Faiz menggeluti usaha bordir sejak 1997 dimulai dari rumahnya di sebuah gang di depan tokonya. Modal yang dimiliki hanya dari hobi membuat design untuk pakaian yang dikenakan sendiri.
“Ternyata dari design itu, banyak teman yang pesan. Setelah itu semakin saja pesanan yang datang hingga saat ini,” jelas Faiz, yang kini telah beromzet ratusan juta per bulan dan memiliki 100 karyawan tetap dan borongan untuk mengerjakan pesanan.

Semenjak memulai usahanya, Faiza semakin rajin memanfaatkan berbagai momentum, seperti pameran di dalam negeri hingga di mancanegara. Berkat pameran yang diikutinya, ia akhirnya memiliki banyak kenalan dan menjalin koneksi dengan designer terkemuka, seperti Ghea Panggabean.
Walhasil, sejumlah pesanan busana untuk para elit juga ditanganinya. Otomatis harga busana pesanan bisa mencapai Rp 4 juta. Namun ibu dari Inaz, Faris Noval dan Raihan ini, juga tetap memperhatikan kebutuhan wanita kelas-kelas kebanyakan.

“Kalau di toko, harganya bervariasi mulai dari Rp 90.000 hingga Rp 1,5 juta. Tapi untuk pesanan khusus, harganya lebih mahal. Sebab, selain bahannya mahal, untuk pengerjaan juga tidak sembarangan dan dibutuhkan ketelatenan,” urai istri dari A Tabroni ini.
Namun sejak terjadi luapan Lumpur Porong, usaha Faiza sedikit surut. “Saat ini saya fokus melayani permintaan dalam negeri. Saya tidak bernafsu melayani ekspor karena ribet dengan berbagai dokumen yang harus diurus,” pungkas Faiza. dio/kur

0 komentar:

Posting Komentar