Sabtu, 31 Juli 2010

Berharap Segera Rambah Toko

Albert yang lucu sukses menjadi media promosi ketika diajak ke rumah saudara, arisan kantor, gereja, atau kegiatan PKK. Pesanan pun mengalir, ditunjang bantuan saudaranya di Gresik yang kerap menerima order. “Sekarang ini apa lagi musim bayi cowok ya? Katanya banyak lahir bayi laki-laki,” ujarnya geli.

Suami Yudhit, Jonathan Mayudha Agung ikut menjual karya istrinya di dunia maya, seperti lewat bekas.com dan Facebook. Dari kedua situs maya itu, Facebook menjadi andalan karena sukses meraup respons.

Ia sudah menghitung bahwa potensi pasar sebenarnya sangat besar, termasuk keinginannya memajang Bebe Shoes di toko peralatan bayi. Sebagai langkah awal, ia harus mencari karyawan guna memperbesar produksinya.

Belajar dari dari pilihannya, Yudhit berharap perempuan yang akhirnya keluar kerja demi mengurus anak, bisa mengeluarkan kreativitasnya dan bekerja di rumah. “Bagaimanapun, didikan terbaik untuk anak di tangan ibunya sendiri,” tukasnya bijak.

Pernah Kelam Berkat Alam

Masyarakat kini lebih memilih barang-barang berbahan dasar alam untuk perabot, pernik-pernik, aksesori hingga hiasan. Ini tak lepas dari kandungannya yang relatif lebih aman, selain terlihat unik dan artistik.

“Kami memang suka berburu barang-barang berbahan alami. Mulai barang-barang furnitur hingga hiasan rumah. Unik aja, apalagi kalau barang itu hanya diproduksi terbatas atau tak ada yang menyamai,” papar Indra Setya, salah seorang konsumen di Surabaya, Jumat (14/5).

Supervisor salah satu diler mobil ini mengaku, tak pilih-pilih bahan alam apa yang ia sukai, asal cocok dan terlihat unik, ia pasti berusaha mendapatkannya. Beberapa lokasi di Surabaya menjadi langganan buruannya. Bahkan, tak jarang ia berburu ke sejumlah kota, seperti Jogjakarta, Bali, Jakarta, dan kota lainnya.

“Berbeda rasanya ketika kita memasuki sebuah rumah atau ruang dengan banyak perabot berbahan alam, dengan ruang yang minim bahan alam. Lemari misalnya, beda banget ketika melihat lemari berbahan kayu jati atau rotan, dengan yang berbahan plastik atau kaca,” ulas pria asal Malang ini.
Meski demikian, bukan berarti Indra rela merogoh kocek dalam-dalam. Ia memiliki batasan nilai nominal tersendiri, ketika harus memilih sebuah barang yang ia sukai.

Seiring tren ‘back to nature’, pasar ini terus meningkat. Tentu saja hal ini menarik minat pelaku usaha yang menggunakan bahan dasar alam untuk pembuatan produknya.

Seperti dilakukan Yudi Oentoro. Berkat usahanya yang ia namakan Cococraft Kreasi Gemilang, produknya berupa handicraft, furnitur, serta material dekorasi, punya nilai tersendiri bagi konsumen. Ini karena bahan yang ia pilih cukup unik, seperti batok kelapa, kerang, kulit kayu manis, bambu dan lainnya

Semula Yudi tak lebih dari pemasok tempurung kelapa. Namun, ketika para agen yang dipasoknya kesulitan keuangan akibat krisis moneter pada 1997, Yudi berpikir untuk mengolah menjadi produk kerajinan tangan. Berkat ide-ide kreatifnya, hasil karyanya mulai dikenal.

“Untuk membuat produk kreatif dan diterima pasar memang tidak mudah. Ada tuntutan kreativitas yang life time-nya pendek. Kami sendiri, minimal setiap tahun harus ada desain baru,” papar Yudi.

Ia berupaya memberi warna berbeda, misalnya mengombinasikan antara bahan kayu dengan tempurung kelapa. Yang menarik, tempurung kelapa yang ia pakai sengaja dipilih yang muda atau tua sekali. Pasalnya, warna keduanya sangat berbeda. Tempurung kelapa muda cenderung berwarna putih, sedang yang tua berwarna kehitaman.

“Kombinasi itu yang cukup unik,” ulas pemenang Primaniyarta 2009 untuk kategori produk kreatif pada Trade Expo Indonesia (TEI) ini. Beberapa produknya yang banyak diminati di antaranya, piring-piringan, furnitur, lampu hias, dinding atau atap dekorasi.

Kini, tidak hanya pasar domestik, sejumlah negara banyak yang melirik produknya. Dibantu sekitar 60 pekerja sub kontrak, rata-rata dalam dua bulan Yudi mampu memproduksi hingga 1 kontainer. Harga yang dipatok beragam, mulai Rp 50.000 per piece hingga puluhan juta rupiah.

Tergantung Musim
Lain lagi dengan Sunardi, perajin rotan. Permintaan pasar terhadap produk kerajinan rotan tak tentu musim. Cuma musim tertentu ramai permintaan, seperti jelang Lebaran, Natal dan tahun baru.
“Itu khusus produk basket (keranjang). Permintaannya cukup besar. Tapi kalau untuk kerajinan lain seperti furnitur dan aksesori interior tak mengenal musim, cuma permintaannya terbatas,” jelas pria 37 tahun ini.

Menyiasati agar produknya cepat laku, Nardi bergabung dengan perusahaan ekspor furnitur. Saat ini bapak satu anak ini menjadi suplier di beberapa perusahaan eksportir furnitur.
“Usaha saya ini merupakan usaha turun karena orangtua saya juga perajin rotan, saya belajar menganyam dari ayah. Tapi sejak 12 tahun terakhir, saya yang meneruskan dan mulai aktif menjadi suplier,” kisah Sunardi.

Produk kerajinan rotan saat ini sudah banyak yang di-mix dengan kayu, bamboo, enceng gondok, hingga debog pisang. Bahkan, ada yang membuat variasi dengan rotan sintetis. Alasannya, selain mengikuti selera pasar dan tren yang berkembang, bahan baku rotan mentah juga mulai langka.

“Kalau sebelum 10 tahun lalu kran ekspor bahan baku tidak diperbolehkan. Rotan mentah masih gampang didapat. Tapi, 10 tahun terakhir ini rotan mentah makin banyak yang diekspor akibatnya perajin industri rotan kekurangan bahan baku,” kata pria yang buka usaha di Menganti, Gresik ini.

Jika order perusahaan sepi, Sunardi mengerjakan proyek sendiri. Sebaliknya, jika permintaan ekspor ramai, maka Sunardi menghentikan sementara pembuatan produk kerajinan yang ia jual sendiri.
“Untuk satu unit kursi rotan-kayu bisa dijual Rp 100.000 pada perusahaan eskportir. Kalau satu set bisa mencapai Rp 1 juta-an tergantung motif dan desainnya. Kalau pasar lokal lebih banyak ke Ngagel Jaya dan Bali,” ujarnya.

Itupun produknya lebih banyak interior ruangan seperti, vas bunga, rak, partisi ruangan, keranjang buah. “Bikin furnitur untuk pasar lokal rasanya sulit. Upah tenaganya nggak sumbut. Permintaannya juga naik turun,” katanya.

Mi Ayam Gerobak


Mi adalah makanan yang sangat populer dan disukai oleh semua orang. Usaha mi ayam seolah tak ada matinya karena peminatnya tetap banyak. Ini adalah pasar yang luas.

Dengan menggunakan gerobak mi yang dijual mudah pindah mendekati tempat ramai. Gerobak dapat menjadi tanda pengenal bagi konsumen. Pada gerobak bisa ditulis nama mi, warna gerobak mudah diingat atau gambar mi yang mengundang selera.

Persiapan dapat dimulai dengan menyiapkan perlengkapan memasak, termasuk gerobak. Pengeluaran yang cukup besar ada pada pembuatan gerobak. Akan tetapi ini adalah investasi karena dengan gerobak yang kokoh dan tak mudah rusak, perlengkapan ini tahan lama. Jika menginginkan gerobak yang nyaman dikendalikan, serahkan saja pada ahlinya. Pembuatan gerobak ini berkisar Rp 1,2 juta.

Jangan lupa menyiapkan perlengkapan memasak. Dibutuhkan dandang, peniris, dan mangkok-mangkok untuk wadah.

Bahan baku berupa mi segar sebaiknya dibeli dari pembuat mi di pasar atau agen khusus mi basah/segar. Pemilihan bahan baku menjadi perhatian utama karena menu ini bergantung pada mi yang nikmat sekaligus sehat.

Bumbu dan toping sudah disiapkan dalam jumlah banyak sehingga ketika berkeliling, tidak akan kehabisan bumbu atau toping.

Langkah terakhir sebelum memulai berjualan adalah mencari tempat yang strategis, ramai, dan mudah dijangkau.

Cara Membuat Mi Ayam

Pembuatan toping. Potong ayam menjadi kecil-kecil. Sisihkan. Bawang daun dirajang halus. Bumbu dihaluskan. Tumis bumbu, lalu masukkan ayam yang sudah dirajang, masak sampai setengah matang, masukkan daun salam dan daun bawang. Masak lagi sampai matang dan taburkan garam, gula, dan merica. Angkat sisihkan. Toping berlimpah dengan rasa pas menjadi kunci laris.

Pembuatan kuah. Cuci tulang ayam sampai bersih. Rebus dalam air mendidih sampai benar-benar masak. Masukkan bawang putih dan bumbu lain yang sudah ditumis. Masak sampai tercampur rata.

Cara Menyiapkan. Rebus mi ayam dalam panci perebusan sambil dicelup-celupkan. Jika suka, bisa ditambahkan potongan sawi. Angkat. Taburkan bumbu (penyedap) dan minyak bawang (dibuat dari minyak dan bawang goreng yang dihaluskan). Tambahkan mi yang sudah masak, aduk-aduk. Sajikan dengan kuah, toping ayam, dan sambal. Jika ingin terlihat spesial bisa dengan menambahkan bakso.

Perhatikan Perilaku Konsumen

Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan, akan tetapi tidak dapat dikendalikan oleh perusahaan adalah perilaku konsumen. Konsumen punya perilaku yang independen terhadap kebijakan perusahaan, tetapi sangat menentukan penerimaan produk. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen yang harus dicermati oleh seorang pengusaha, antar lain :

Pertama, faktor lingkungan yang melingkupi konsumen, baik lingkungan keluarga, pendidikan dan sosial. Ketika ramai tren pakaian yang ketat, maka semua orang akan ikut. Begitu juga, ketika semua orang ramai-ramai menjadi facebookers.

Kedua, perlunya pengusaha memperhatikan sumberdaya konsumen, seperti waktu luang yang dimiliki, perhatian terhadap produk yang beredar serta kekuatan daya beli masyarakat sasaran pasar. Faktor lain yang juga patut dijadikan pertimbangan adalah sikap dan gaya hidup konsumen yang ingin dituju pengusaha berproduksi.

Ketiga, situasi psikologis yang melingkupi saat peluncuran produk dan jasa kepada costumer. Di sinilah pentingnya pengusaha untuk mampu mengelola informasi yang komprehensif tentang perilaku konsumen beserta perubahan yang terjadi.

Keempat, faktor lainnya yang juga harus mendapat perhatian pengusaha adalah pandangan agama atas produk dan jasa yang diluncurkan. Di Indonesia yang terkenal agamis, penting memperhatikan ini, karena kalau suatu produk mengandung zat yang dilarang agama pasti ditolak masyarakat.

Konsumen, bagaimanapun kondisinya adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan pengusaha. Tanpa konsumen, pengusaha tidak akan berarti apa-apa. Kenapa? Karena produk tidak akan dapat terserap oleh pasar.

Jadi nasihat penting dan terakhir, jangan remehkan konsumen, apalagi mengabaikan kemauan dan perubahan perilakunya. Bagaimana dengan Anda?

Laba dari Aksesori Kayu


Puluhan tahun lalu, pemanfaatan bahan baku kayu hanya terbatas untuk produk mebel, bahan bangunan, perlengkapan kebutuhan rumahtangga, hingga kerajinan. Kini dalam perkembangannya, kayu mulai dilirik sebagai pernik-pernik aksesori yang cantik.

Mengenakan kalung terbuat dari emas, perak, logam, kaca atau batu-batuan, bukan hal yang asing lagi. Tapi, kalau aksesori ini terbuat dari bahan kayu, tentu belum banyak yang memiliki.
“Ketika melihat produk yang cukup unik, pasti semua akan tertarik dan ingin memilikinya. Itu pula yang saya alami saat melihat produk berbahan kayu dari internet,” ujar Dewi Setyaningtyas, karyawati salah satu distributor makanan ringan di Surabaya, Rabu (19/5).

Begitu mengetahui kalung berbahan kayu, Dewi mengaku, langsung mencari distributor produk aksesori unik itu dan memesan beberapa piece. “Ternyata memang benar-benar beda. Unik, namun terlihat elegan. Saya yakin semua pengoleksi kalung dan aksesori pasti akan tertarik,” ujar ibu satu anak ini.
Ia sengaja membeli beberapa piece kalung kayu, dengan harapan bisa memadu-madankan kalung yang dibeli dengan busana yang dikenakannya. Kayu, menurut Dewi, lebih fleksibel dilekatkan ke busana apa saja, apalagi baju batik yang saat ini tren.

Tertarik mengoleksi kalung berbahan kayu seperti Dewi? Tak sulit menemukannya, karena di Surabaya bisa ditemui pembuatnya. Dayu Mayasari, sang pembuat kalung ini mengaku, kalung kayu memiliki keunggulan pada tampilan seratnya yang menarik, bisa dibentuk dengan model apa saja, selain juga cocok dikombinasikan dengan bahan-bahan yang lain.

“Seperti kalung ini, yang saya kombinasikan dengan kain flanel, kain satin, manik-manik dan lainnya,” kata Dayu, yang mengaku menggeluti usahanya sejak Januari 2010.

Meski tergolong baru, ternyata animo konsumen terhadap produknya dengan merek Tropica, cukup besar. Terbukti, sudah ada 5 distributor yang secara rutin menyerap produknya yang tersebar di beberapa daerah, di antaranya Surabaya, Malang, Makasar, hingga Bau-Bau Sulawesi Tenggara.

Selain kombinasi kain yang menarik, kalung buatan Dayu banyak diminati konsumen karena memiliki desain beda dengan kalung kayu yang pernah ada. Jika kalung kayu pada umumnya memiliki motif tradisional, buatan Dayu cenderung lebih modern dan elegan dengan balutan politur.

Dengan harga sangat terjangkau di kisaran Rp 1.500-25.000 per piece, rata-rata Dayu mampu menjual hingga 100 piece setiap pekan. “Kami cukup kewalahan memenuhi permintaan pasar. Karenanya saya dibantu 3-4 orang untuk produksi dan dua orang tenaga pemasaran,” ucap wanita 24 tahun ini yang menyebut rata-rata omzet penjualannya sekitar Rp 4-5 juta per bulan.

Agar konsumennya tak bosan, Dayu mengaku aktif menciptakan desain baru. Untuk yang satu ini, paling tidak ada tiga desain baru setiap dua hari. Desain baru itu bisa saja diproduksi dalam beberapa piece, atau hanya ada 1-2 piece saja.

“Sebagai UKM pemula, kreativitas memang dibutuhkan. Ini yang menjadi kunci mengapa dalam waktu singkat produk saya diminati konsumen,” papar wanita lajang yang mengaku menjalankan usaha atas modal sendiri.

Membatik di Kayu
Lain lagi, kerajinan yang ditekuni Arif Anita Kusumawati. Masih menggunakan kayu, namun ia mencoba berkreasi dengan membatik di atasnya. Kerajinan kayu batik bikinan Anita dengan label Kusuma Art itu, kini laku sampai ke Jepang dan Swedia.

Setiap tahunnya, ia rutin mengekspor ke Jepang, Malaysia dan Singapura. Sebenarnya, menurut Anita, hobi awal yang ia tekuni justru membatik di atas kain.

“Namun kalau jualan batik saja rasanya sudah biasa. Saya coba di atas kerajinan berbahan kayu. Hasilnya unik. Penjualannya bagus. Sistem penjualannya, saya kerja sama dengan hotel-hotel dan pengekspor furnitur,” jelas wanita yang memulai usahanya sejak 1997 ini.
Untuk membuka dan memperluas jaringan, ia menyewa lobi hotel sebagai tempat pameran produknya yang juga disertai demo membatik produk. Lobi hotel yang disewa berpindah-pindah, mulai Somerset, Mercure, Garden Palace hingga Novotel.

“Hasil penjualan lumayan. Tamu-tamu hotel banyak yang suka. Terutama turis asing akhirnya semakin banyak yang order,” ujar Anita.
Produk Kusuma Art beragam, mulai mangkuk kecil hiasan, mangkuk buah, gantungan kunci, patung pajangan, piring, kotak perhiasan, ragam bentuk hewan dan ragam bentuk buah. Semuanya full motif batik.

Seminggu, ia bersama 50 karyawan outsourching-nya bisa menghasilkan 350 unit barang. “Dulu modal awalnya cuma Rp 500.000, balik modalnya sangat cepat tidak sampai setahun. Penggarapannya memang njlimet, tapi kalau sudah terbiasa membatik ya cepat,” pungkasnya.

Perhatikan Faktor Lingkungan

Pada tulisan sebelumnya disebutkan, faktor lingkungan mempengaruhi calon pelanggan mulai dari cara pandang sampai pada kemauan untuk membeli produk kita. Ini harus dipahami agar rencana pemasaran berjalan lebih baik dan tepat sesuai sasaran yang dituju.

Faktor lingkungan tersebut adalah :

Pertama, faktor budaya yang mencakup cara pandang masyarakat, perilaku keseharian masyarakat. Misalnya tidak menjual baju ketat di tengah masyarakat agamis.

Kedua, kelas sosial masyarakat sasaran. Jika pengusaha menghendaki pasar kelas atas, maka mulai dari produk sampai kenyamanan pelayanan harus diperhatikan. Bagi kelompok ini, ekslusivitas menjadi jauh lebih berharga dari hal lainnya.

Ketiga, faktor pribadi dan keluarga. Tiap pribadi dalam keluarga tentu punya pandangan berbeda, tapi saling mempengaruhi. Bagi pengusaha, menjadi penting untuk dikelola harmonisasi keluarga agar ragam produk tidak terlalu banyak. Atau kondisi ini dapat juga digunakan untuk menetapkan kelompok produk dalam keluarga. Dengan demikian, akan lebih mudah mengenalkan dan memposisikan produk di mata pelanggan.

Keempat, jangan lupa memperhatikan situasi dan suasana kebatinan yang berkembang. Hal ini menjadi penting, karena jika salah dalam kebijakan pada situasi tertentu, produk menjadi kalah bersaing dengan yang lain.

Jamin Pasar, Kualitas, hingga Modal



Usaha berjualan makanan ringan untuk menambah pendapatan keluarga saat ini tengah menjadi tren. Sayangnya, dalam perjalanannya sering harus menghadapi kendala, seperti ketatnya persaingan, kurang mengerti keinginan konsumen, hingga terbatasnya modal.

Namun di tangan Ida Widyastuti melalui usaha yang digelutinya bersama sang suami, M Haris, semua kendala itu bisa dikurangi. Usaha yang diberi nama Rumah Snack Mekarsari itu memang sepintas seperti toko oleh-oleh kebanyakan. Namun di balik itu, upaya pasangan suami-istri ini sangat berarti bagi UKM produsen makanan ringan/camilan.

“Tujuan kita tidak hanya sekadar menjual produk UKM, namun bagaimana bisa membantu mereka menjaga kualitas, rasa, memenuhi keinginan konsumen, hingga jaminan terserap pasar. Dukungan ini yang penting,” jelas Ida, ditemui di tokonya di kawasan Pondok Jati, Sidoarjo.

Baginya, memberdayakan masyarakat khususnya ibu-ibu lebih bermanfaat dibanding hanya sekadar memasarkan produknya. Ada dampak sosial yang lebih besar dengan merangkul mereka. Jika biasanya toko hanya menjadi ‘titipan’ bagi produk UKM dan menuntut barang berkualitas, Mekarsari lebih memprioritaskan pada penguatan produksi di UKM yang menjadi mitranya.
“Saya harus aktif berkeliling nyambangi UKM satu per satu. Apalagi UKM pemula yang mulai mencoba memproduksi makanan, atau mereka yang baru bergabung. Saya harus intens datang ke mereka. Kita sharing, apa yang kurang dari produknya, sampai menemukan produk yang layak jual,” ungkap Ida, yang merintis usahanya sejak 2001.
Bahkan selama produk yang dibuat UKM ini belum bisa menghasilkan, artinya belum layak untuk dijual di pasar, pihaknya rela mengganti semua biaya yang dikeluarkan UKM. Ia sadar, kendala utama yang banyak dihadapi UKM kecil adalah permodalan. Sementara, untuk mengakses ke perbankan, selain cukup rumit, juga diperlukan jaminan.
Karena itu, ketika UKM yang menjadi binaannya kesulitan permodalan karena tingginya permintaan pasar, ia rela memberikan pinjaman untuk bantuan modal. Untuk bantuan permodalan, Ida punya cara sendiri.

Misalnya, ketika ada order 10 ton makanan ringan, pihaknya akan memberi bantuan modal kerja setiap tahap disesuaikan dengan kapasitas produksi UKM. “Misalnya 10 ton itu bisa dihasilkan selama satu bulan, kita akan beri modal setiap minggu dengan kapasitas 2,5 ton. Demikian seterusnya,” ujar Ida.

Tak heran, hingga kini lebih dari 500 UKM makanan ringan yang tersebar di Jatim, Jateng, Jabar, hingga Bali, menjadi bagian dari kemitraannya. Pasalnya, sekitar 600 jenis makanan ringan tersedia di gerai Mekarsari, baik melalui penjualan secara ritel maupun partai. Setiap hari, ada saja UKM-UKM yang menawarkan produk karyanya.

Produk Mekarsari kini telah menyebar ke sebagian besar kota di Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Papua, NTB. Bahkan beberapa konsumennya memasarkan ke luar negeri, seperti Malaysia, Singapura, Hongkong, Brunei, bahkan Amerika.

“Pasar makanan ringan cukup potensial. Sebagian besar yang kita jual memang jenis camilan tradisional yang telah lama ada, seperti keripik pisang dan emping mlinjo, namun bagaimana kita memberikan nilai lebih pada produk itu, baik rasa, kemasan, hingga jaringan distribusi,” ulas Ida yang memiliki gudang distribusi di Sidoarjo dan Bali ini. dio

Empat Sekolah yang Bawa Berkah


Himayanti, Pengelola Jamur Crezz Mario
Surabaya
-Tepat pukul 09.00 WIB, Himayanti bergegas mengemasi wadah tempat jamur crispy yang telah ia kemas kantong plastik kecil-kecil. Pagi itu akan menuju beberapa sekolah dasar (SD) tak jauh dari rumahnya di kawasan Wiyung, Surabaya.

Memang, setiap hari, Yanti, panggilan akrab ibu dua orang anak itu harus menitipkan jamur crispy olahannya ke sekolah-sekolah. Selain itu, ia juga memiliki dua gerobak yang siap dijalankan keliling oleh dua orang pekerjanya.

Anak sekolah dianggapnya masih menjadi pasar potensial bagi produk makanan ringan seperti jamur crispy. Oleh karenanya, segmen pasar itu pula yang saat ini menjadi bidikan Yanti untuk memasarkan produknya.

Baginya, dipilihnya jamur crispy bukan karena latah melihat booming makanan ringan berbahan jamur yang kini banyak diminati konsumen. Tersedianya pasokan jamur tiram sebagai bahan baku makanan ringan itu serta meningkatnya permintaan pada produk itu menjadi salah satu alasannya.

“Namun tentunya agar produk kita mendapat tempat di tengah persaingan yang cukup ketat, perlu kreativitas sehingga beda dengan yang sudah ada,” papar Yanti.
Ikhwal digelutinya usaha pembuatan makanan berbahan jamur itu sendiri, diakuinya dari hasil coba-coba yang dilakukannya. Setahun lalu, ia mencoba membeli satu bungkus jamur tiram yang mulai banyak dijual di pasar.

“Tak ingin hanya berupa jamur goreng atau keripik jamur yang itu-itu saja, saya mencobanya dengan jamur crispy. Ternyata keluarga banyak yang suka,” papar wanita 36 tahun ini.
Modal ‘dukungan’ keluarga mendasarinya untuk mencoba menjual produk olahannya. Memang, awalnya bukan langsung ke pasar luar, namun masih dikenalkan ke tetangga sekitar. Ternyata mereka cukup cocok dengan olahannya. Hal itu pula yang membuatnya bersemangat untuk menggeluti usaha jamur crispy.
Ini karena jamur crispy olahannya sengaja dibuat dengan beragam rasa, mulai keju, pizza, pedas, dan sebagainya.

Sebetulnya, usaha makanan olahan bukan kali ini saja digeluti istri Oman Hermawan ini. Sebelumnya ia pernah mengelola usaha atau menjadi mitra waralaba penjualan burger dari salah satu merek.

“Namun dalam perjalanan waktu ternyata pembeli burger lambat laun kian menurun. Saya harus subsidi hanya untuk membayar gaji pekerja untuk berjualan keliling. Oleh karena itu, melihat respon konsumen pada jamur crispy ini yang bagus, saya beralih ke sini,” ulas Yanti.

Awalnya, ia tak langsung mengganti usaha burger ke jamur crispy. Yanti tetap menjalankan bisnis burger, sementara jamur crispy ia titipkan ke salah satu kantin SD tak jauh dari rumahnya. Ternyata dari 30 bungkus yang ia titipkan, hanya menyisakan 1-2 bungkus. Hal itu membuatnya optimistis produknya diterima.

“Sekarang sudah ada empat SD yang rutin saya titipi produk saya. Dan rata-rata hampir semuanya terjual habis. Baru setelah melihat penjualan di sekolah bagus, saya tak jualan burger lagi, tapi menggantinya dengan jamur crispy,” ucap Yanti yang mengaku modal yang ia jalankan murni dari tabungan keluarga.

Tak mau hanya satu pilihan produk, Yanti menambah produknya dengan tahu crispy. Tahu yang dipotong mirip dadu kecil-kecil itu juga ia kemas dalam kantong plasik kecil. Produk ini pun laku keras. Soal harga, ia sesuaikan dengan segmen pasar anak sekolah serta kawasan yang biasa menjadi sasaran gerobaknya. Satu kantong plastik hanya Rp 2.000-4.000. Cukup murah memang.

Meski masih skala kecil, namun usaha yang dijalankan sejak tahun lalu itu telah mampu mampu menambah penghasilan keluarga. Paling tidak bisa dilihat dari omzet penjualannya yang rata-rata di kisaran Rp 400.000-500.000 per hari. Dalam seminggu, tak kurang dari 30 kilogram jamur tiram serta 200 biji tahu ia habiskan.

Puaskah Yanti dengan apa yang sudah ia jalankan? Ternyata tidak. Ada banyak harapan yang ia gantungkan pada usahanya. Selain ingin agar tampilan produk maupun kemasan jamur crispynya makin menarik, juga ketahanannya.

“Karena makanan seperti ini sifatnya tak tahan lama, saya terus belajar bagaimana masa kadaluwarsanya bisa lebih lama tanpa bahan pengawet. Ini karena ada beberapa toko atau swalayan yang meminta,” tandasnya.

Perhatikan Betul Keunikan Individu

Di samping faktor lingkungan, seorang pengusaha harus juga memperhatikan perbedaan tiap individu pelanggan yang menjadi sasaran pasar. Karena setiap konsumen mempunyai keinginan, pandangan dan sikap berbeda dalam membelanjakan uang dan memuaskan fantasinya.

Faktor tersebut antara lain :

Pertama, kemampuan sumberdaya konsumen. Tiap konsumen berbeda kemampuan ekonominya. Agar bisa tepat, seorang pengusaha harus mampu memotret dan kemudian mengambil kebijakan produksi dan harga yang setidaknya mampu mengurangi kesenjangan itu dan mendekatkan kepada kelompok besar pasar sasaran. Hal ini karena sulitnya memenuhi kebutuhan semua segmen secara optimal untuk masing-masing individu.

Kedua, perhatikan motivasi dan keterlibatan konsumen dalam mengonsumsi produk. Bisa jadi konsumen hanya ingin pengakuan, mencoba hal baru, agar diperhatikan orang disayangi, tetapi bisa juga karena pemenuhan kebutuhan pokok. Misal, orang beli ponsel ada yang karena butuh alat komunikasi, ada juga yang berusaha meningkatkan gengsi, dan lainnya.

Jika bisa melihat ini secara tepat, pengusaha bisa memperoleh manfaat ganda. Konsumen bisa menjadi pelanggan setia, dan menjadi pemasar aktif.

Ketiga, pengetahuan konsumen tentang produk. Jika konsumen tahu banyak tentang produk, mereka dapat menjadi pelanggan setia, karena tidak ragu pada produk itu..

Keempat, perhatikan juga faktor demografi. Dengan ini kita akan mendapat informasi calon pelanggan mulai dari umur, jenis kelamin, pendidikan dan lain sebagainya. Informasi ini dapat dijadikan sebagai salah satu dasar kebijakan penetapan pasar sasaran. Melalui ini, seorang pengusaha dapat membuat produk berdasarkan umur, jenis kelamin, dan juga dapat berdasarkan tingkat pendidikan.

Bagi pengusaha penerbitan buku, informasi ini dapat dijadikan dasar penetapan jumlah produksi buku ajar sesuai dengan potensi optimal pasar sasaran. Begitu juga, bagi produsen susu dapat digunakan untuk membuat produk yang diperuntukkan mulai dari kelompok anak-anak sampai konsumen usia lanjut.

Memang belum semua unsur pengaruh faktor perbedaan individu dijelaskan dalam tulisan ini, akan tetapi faktor ini yang jauh lebih dominan daripada yang lain.

Pengusaha yang jeli harus selalu melakukan pengamatan dengan menggali berbagai informasi, kemudian memetakan untuk menghasilkan keputusan yang terbaik bagi keberlangsungan usaha yang digelutinya. Bisa jadi ke depan akan muncul faktor lain lagi yang lebih tepat untuk memotret setiap perbedaan yang muncul dalam perilaku konsumen. Bagaimana dengan Anda?

Usaha Rumahan Cokelat

Untung Berlipat Cokelat
Say it with chocolate. Ya, katakan dengan cokelat. Ungkapan itu banyak dilontarkan orang yang sedang berkasih-kasihan. Tetapi ungkapan itu pula yang mendatangkan laba bagi gadis kreatif ini.

Aprilia Satriani, 20, adalah satu anak muda yang telah membuktikannya. Iseng menjual permen cokelat dengan kemasan unik, Anyik, sapaan akrabnya, malah kebanjiran order.

Cokelat bikinan Anyik laris manis untuk berbagai momen istimewa. Lima butir cokelat mungil dikemas kotak mika, manis juga dibuat suvenir pernikahan.

Lihat juga satu cokelat berbentuk hati, dengan topping tulisan Happy Birthday di atasnya. Yang model begini banyak dibeli untuk menggantikan tart bolu ulang tahun. “Lebih praktis, mudah dibawa. Lagipula, orang mungkin mulai bosan dengan tart,” ujar Anyik, ditemui Surya di sebuah pameran wirausaha.

Keterlibatan Anyik dengan dagang cokelat ini sebenarnya baru tiga bulan belakangan. Tapi, soal bikin cokelat sudah dimulai Anyik sejak ia SMP.

Tak mengherankan kalau dalam usia itu ia sudah paham dengan seluk beluk dapur. “Mama saya suka bikin dan terima pesanan kue,” tukasnya.

Cokelat pun dihias Anyik agar menarik. Misalnya, cokelat dibentuk kuntum mawar, lalu diberi sedotan untuk tangkainya. Lolly-chocolate, demikian ia menyebutnya karena mirip permen lolly-pop, siap dimakan sendiri atau untuk orang tersayang.

Usaha cokelat, kata Ayik, tak makan modal banyak. Bahkan, Ayik mengaku baru sedikit duit dikeluarkan untuk modal alat.

Untuk membuat coklat, hanya perlu alat dapur standar. “Kalau dapat laba, disisihkan sedikit untuk beli cetakan, jadi bentuknya bisa bervariatif,” saran mahasiswi teknik elektro Universitas Brawijaya ini.

Modal terbesar, adalah untuk bahan mentah. Bahan bakunya adalah cooking chocolate, atau sering disebut cokelat boks.

Bagaimana soal keuntungan? Satu kilogram cokelat boks, bisa ditebus di toko bahan kue seharga Rp 40.000. Itu bisa dimasak untuk membuat sekitar 60 coklat tusuk (lolly_chocolate), yang bisa dijual seharga Rp 3.000 tiap tusuknya. nab

AKSES Kawal UKM hingga Kemasan


Salah satu kelemahan produk makanan dan minuman (mamin) adalah masa kadaluwarsa. Cukup banyak kalangan UKM produk mamin yang menginginkan produknya bisa bertahan hingga waktu yang relatif lebih lama. Namun jika produsen mengerti teknik pengolahan dan bahan yang digunakan, paling tidak mereka bisa menyiasati tanpa harus menggunakan bahan pengawet.

Seperti dituturkan Ida Widyastuti, pimpinan Rumah Snack Mekarsari. Pengalamannya menghimpun, memproduksi dan memasarkan ratusan item produk mamin dari kalangan UKM yang dibinanya membuatnya faham bagaimana menjaga kualitas makanan hingga pengemasan, sehingga bisa bersaing di pasar.

“Saya tidak bosan-bosan mengawal kalangan UKM mulai produksi hingga pengemasan. Karena teknik pengolahan serta bahan yang dipakai sangat mempengaruhi produk makanan,” kata Ida.
Diakuinya, masing-masing produk makanan ringan memiliki masa kadaluwarsa yang berbeda. Ada yang tahan hingga berbulan-bulan, ada yang 2-3 minggu, dan ada yang hanya bertahan 1-2 hari saja.
Mekarsari juga menyediakan jenis makanan yang hanya tahan 1-2 hari. Namun, sistem yang dipakai konsinyasi. Artinya, kalau barang tersisa bisa dikembalikan kepada produsen.

“Nah, untuk makanan dengan bahan baku jamur atau tape yang hanya bertahan sebentar, yang terpenting bagaimana pengolahannya. Ini agar masa ketahanannya lebih lama dan rasa serta kerenyahannya tak berubah,” ungkap istri M Haris ini.

Ketika produk ke Mekarsari, biasanya Ida akan melihat jenis makanan yang akan dijual untuk disesuaikan dengan kemasan. Apapun produk yang ditawarkan, ia mengaku siap memasarkan. dio

Hampir semua ibu rumah tangga pernah membuat makanan ringan. Namun tujuan dia memasak suatu makanan tentu berbeda-beda.

Ada yang hanya sekadar untuk hidangan keluarga, sanak famili, hingga dikomersialkan dengan dijual. Kegiatan ibu-ibu berjualan makanan ringan untuk mengisi waktu atau menambah pendapatan keluarga ini saat ini tengah menjadi tren. Namun kendalanya, tak sedikit yang harus berbenturan dengan ketatnya persaingan, kurang mengertinya keinginan konsumen, hingga terbatasnya modal.

Namun di tangan Ida Widyastuti melalui usaha yang digelutinya bersama sang suami, M Haris, semua kendala itu bisa dikurangi. Memang, usaha yang diberinya nama Rumah Snack Mekarsari itu sepintas seperti toko oleh-oleh seperti kebanyakan. Namun di balik itu semua, upaya yang dilakukan keduanya sangat berarti bagi UKM produsen makanan ringan/camilan.

“Tujuan kita tak hanya sekadar menjual produk UKM, namun juga bagaimana bisa membantu mereka dalam hal menjaga kualitas, rasa, memenuhi keinginan konsumen, hingga jaminan terserap pasar. Dukungan ini yang penting,” jelas Ida ditemui di tokonya di kawasan Pondok Jati, Sidoarjo.
Tak hanya itu, ketika UKM yang menjadi binaannya kesulitan dalam permodalan karena tingginya permintaan pasar, ia dengan rela memberikan pinjaman untuk bantuan modal.

Baginya, memberdayakan masyarakat khususnya ibu-ibu lebih bermanfaat dibanding hanya sekadar memasarkan produknya. Ada dampak sosial yang lebih besar dengan merangkul mereka.

Jika biasanya toko yang hanya menjadi ‘titipan’ bagi produk UKM hanya menuntut barang yang berkualitas tanpa mau menyadari kendala dan keterbatasan UKM produsen, namun Mekarsari lebih memprioritaskan pada penguatan produksi di UKM yang menjadi mitranya.

“Saya harus aktif berkeliling nyambangi UKM satu per satu. Apalagi UKM pemula yang mulai mencoba memproduksi makanan, atau mereka yang baru bergabung. Saya harus intens datang ke mereka. Kita sharing, apa yang kurang dari produknya dan sebagainya, sampai menemukan produk yang layak jual,” ungkap Ida yang merintis usahanya sejak tahun 2001.

Bahkan selama produk yang dibuat UKM tersebut belum bisa menghasilkan, artinya belum layak untuk dijual di pasar, pihaknya rela mengganti semua biaya yang dikeluarkan UKM. Ia sadar, kendala utama yang banyak dihadapi UKM kecil adaah permodalan. Sementara untuk mengakses ke perbankan, selain cukup rumit, juga diperlukan jaminan.

Tak hanya itu, minimnya perhatian pemerintah daerah terhadap UKM makanan ringan juga mendasarinya melakukan hal itu. Baginya, pemerintah terkesan tebang pilih terhadap UKM. Seperti lebih memprioritaskan UKM kerajinan, garmen dan sejenisnya. Selain banyak mendapat bantuan, mereka juga aktif dilibatkan dalam setiap pameran. “Padahal produsen makanan ringan ini pasarnya lebih potensial, selain banyak menyerap tenaga kerja,” jelasnya.

Namun, ia punya cara tersendiri untuk bantuan permodalan tersebut. Misalnya ketika ada order 10 ton makanan ringan, pihaknya hanya akan memberi bantuan modal kerja setiap tahap disesuaikan dengan kapasitas produksi UKM. “Misalnya 10 ton itu bisa dihasilkan selama satu bulan, kita akan beri modal setiap minggu dengan kapasitas 2,5 ton. Demikian seterusnya,” ujarnya.

Bantuan juga akan disesuaikan dengan jenis produk makanan yang dibuat. Misalnya jika UKM makanan berbahan hasil bumi, pihaknya yang menyiapkan keutuhan bahan baku tersebut. Yang terpenting bagi keduanya adalah masing-masing ada kepercayaan dan ikatan sosial yang erat. Dengan begitu, UKM juga enggan untuk menjual produknya ke pihak lain.

Tak heran, hingga kini lebih dari 500 UKM makanan ringan yang tersebar di Jatim, Jateng, Jabar, hingga Bali menjadi bagian dari kemitraannya. Pasalnya, sekitar 600 jenis makanan ringan tersedia di gerai Mekarsari, baik melalui penjualan secara ritel maupun partai. Setiap hari, ada saja UKM-UKM yang menawarkan produk karyanya.

Produk Mekarsari pun telah menyebar ke sebagian besar kota di Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Papua, NTB. Bahkan beberapa konsumennya memasarkan ke luar negeri, seperti Malaysia, Singapura, Hongkong, Brunai, bahkan Amerika.

“Pasar makanan ringan cukup potensial. Sebagian besar yang kita jual memang jenis camilan tradisional yang telah lama ada, seperti keripik pisang, emping mlinjo, dan sebagainya, namun bagaimana kita memberikan nilai lebih pada produk itu, baik rasa, kemasan, hingga jaringan distribusi,” ulas Ida yang memiliki gudang distribusi di Sidoarjo dan Bali ini.

Saking besarnya, bahkan Mekarsari telah menyiapkan beberapa jenis makanan ringan untuk diperkuat mulai hulu hingga hilir. Bahan baku pisang misalnya, saat ini ia telah mengelola budidaya pisang cukup luas di salah satu daerah di Jatim. Itu dilakukan selain untuk menjaga ketersediaan bahan baku, juga untuk kestabilan harga bahan baku. “Keripik pisang kita sudah produksi sendiri dengan kapasitas rata-rata 10 ton per minggu. Kita unggul di ketipisan dan rasa, sehingga permintaannya terus meningkat,” ungkapnya. dio

Laris Manis Bisnis Brownis Tape


Makanan tape yang terbuat dari singkong hampir semua orang pernah merasakan. Jajanan yang dibuat melalui proses fermentasi itu, kini diolah lebih bervariasi dengan beragam tampilan dan rasa. Yang banyak dikenal sebut saja, suwar-suwir, tape bakar, prol tape, hingga brownies tape.

Selama ini suwar-suwir sudah dikenal sebagai buah tangan dari Kabupaten Jember. Namun kini, masyarakat bisa mendapatkan sejumlah jajanan kreasi berbahan tape singkong dalam daftar oleh-oleh mereka saat berkunjung ke Jember.
Panganan berbahan baku tape ini memang ‘diburu’ Windradini, pengajar sebuah perguruan tinggi di Jember. Lama berdomisili di Jember, menuntutnya untuk selalu membawa oleh-oleh khas saat harus pulang berlebaran ke rumah orangtuanya di Malang.
Ia mengaku bosan jika hanya membawa tape atau suwar-suwir. Dia ingin bisa membawa buah tangan khas yang lain, yang juga bisa menjadi suguhan saat berlebaran.
“Sejak tiga tahun terakhir ini, saya selalu membeli brownies tape. Kue ini sudah menjadi oleh-oleh khas yang enak dari Jember. Sebelum itu, saya juga mencoba membawa prol tape. Tapi, brownies memang kan lagi digemari, jadi sekarang ini rasanya lebih mengena,” ujar ibu tiga putra ini.
Menurut Windra, brownies tape yang diolah dari mencampur coklat dan tape, menghasilkan rasa yang manis sekaligus legit. “Jajanan ini sangat pas sebagai pelengkap saat kita berkumpul bersama sanak-saudara,” tuturnya.
Bukan hanya sebagai buah tangan, ia juga menjadikan brownies tape dan prol tape sebagai suguhan saat ada tamu atau sanak-saudara berkunjung dari luar kota. “Mereka biasanya bertanya di mana bisa membeli oleh-oleh khas Jember. Jadi, sekalian saja disiapkan. Apalagi harganya cukup terjangkau,” urai Windra.
Kemunculan brownis tape memang belum setua suwar-suwir yang telah diproduksi puluhan tahun silam. Namun, makanan ini bisa dengan mudah ditemukan di outlet-outlet di Jember dengan harga beragam mulai Rp 19.000 hingga Rp 25.000 per kotak.
Salah satu pembuat brownis tape adalah keluarga Supartiwi, yang mulai memproduksi makanan olahan dari tape singkong sejak 2001. Meski berbahan baku tape singkong, rasa prol dan brownis tape terbilang lezat. Legit campuran manis tape dan singkong terasa lembut di lidah.
“Semula saya coba-coba membuat prol tape. Karena kebetulan saudara juga membuat makanan ini. Apalagi, saat itu banyak orang mencari kue ini,” ujar Wiwik, panggilan akrabnya, saat ditemui di rumahnya, Jl Wijaya Kusuma, Jember.
Setelah lebih dari dua tahun memproduksi prol tape, ia mencoba panganan brownis tape. Olahan tape singkong yang dicampur dengan coklat. “Namanya saja brownis tentunya dari coklat, tetapi ada bedanya karena diimbuhi tape. Rasanya coklat dan tape,” jelasnya.
Wiwik dan suaminya, Zaky Zakaria, berangkat dari nol memproduksi dua makanan ini. Hingga saat ini, suami istri yang telah memiliki outlet makanan ini konsisten memproduksi keduanya, dengan tidak hanya memperhatikan rasa tetapi juga menomorsatukan penampilan kue. Untuk topping, Wiwik kadang menghias dengan keju, meses, kenari dan juga kismis.
“Awalnya, memang saya hanya buat skala kecil saja, yaitu enam kotak prol tape. Karena belum punya outlet, saya titipkan ke orang lain dan selalu habis. Rupanya banyak pembeli suka prol tape merek ‘Wika’ ini,” kata ibu empat anak ini.
Berkat usaha kerasnya, saat ini setidaknya ia mampu memproduksi 50 kotak prol tape dan 30 kotak brownies tape dalam sehari. Khusus pada hari libur, ia harus melipatgandakan produksinya.
“Kalau jumat, sabtu dan minggu, permintaan biasanya naik. Apalagi kalau ada libur panjang dan Lebaran,” imbuh Wiwik, yang mempekerjakan tiga orang untuk membantu usahanya. Tapi, pekerjanya otomatis akan bertambah saat permintaan naik jelang Lebaran
Meski usahanya berjalan lancar, toh Wiwik harus menghadapi tantangan baru. Karena belasan produsen prol dan brownis tape mulai bermunculan. Dalam dua tahun terakhir, produsen makanan ini kian menjamur.
“Menghadapi persaingan ini, saya berupaya mengembangkan pasar dan terus berinovasi. Tidak hanya membidik pasar Jember, namun juga mengirim produknya ke Situbondo. Alhamdullilah, di sana peminatnya juga banyak,” ungkap Wiwik, yang berharap mendapat pinjaman lunak untuk mengembangkan usahanya.

Suwar-suwir Aneka Rasa
Persaingan yang makin ketat juga diakui Durachim, produsen suwar-suwir merek Rama sejak 1985 silam. Meski ia tidak mempermasalahkan hal itu, namun kondisi ini praktis membuat penjualannya menurun.
“Memang makin banyak yang membuat manisan khas ini. Oleh karena itu, kita harus jeli melihat pasar,” ujar bapak delapan anak yang memproduksi suwar-suwir dengan empat rasa yakni, nanas, sirsak, durian dan coklat, pekan lalu.
Selama ini, ia membuat berbagai macam inovasi agar suwar-suwirnya tetap dilirik orang. Jika semula, suwar-suwir hanya berwarna krem polos. Seiring berjalannya waktu, manisan itu mulai diberi warna, hijau, coklat maupun merah.
Bukan hanya itu, bungkusnya juga dibuat semenarik mungkin. Durachim sekarang membungkus dalam dua jenis, pak berisi 3 ons dan bungkus plastik berisi setengah kilogram.
Sedangkan produsen suwar-suwir merek ‘96′ mempunyai terobosan lain untuk menggaet pembeli. Jika suwar-suwir umumnya berbentuk panjang seukuran jari kelingking, maka suwar-suwir merek ini berbentuk permen.
“Memang dibentuk kecil seperti permen dengan berbagai macam rasa, ada kopi, sirsak, nangka, dan kelapa muda,” ujar Neny, penjaga outlet oleh-oleh ‘96′. Terobosan bentuk yang beda tersebut bertujuan agar pembeli tertarik. uni/tdr

Gagas Outlet untuk Tampung Produk UKM

Dari puluhan produsen suwar-suwir yang ada di Kabupaten Jember, beberapa orang mempunyai outlet penjualan. Ketua Paguyuban Suwar-Suwir Jember Rendra Wirawan menyebut, ada tujuh produsen suwar-suwir yang mempunyai outlet penjualan sendiri.

Outlet-outlet itu menjual produk mereka, seperti suwar-suwir, prol tape, brownis tape, tape singkong, serta jajanan lainnya. Outlet itu memakai nama sesuai produk mereka masing-masing.

Bukan hanya outlet milik swasta, tapi Pemkab Jember pun memiliki outlet panganan khas ini. “Sayangnya, outlet punya Pemkab malah dimonopoli satu merek suwar-suwir saja,” kata Durachim.
Seharusnya, kata dia, outlet bisa menjual sejumlah merek suwar-suwir, seperti yang dimiliki swasta.

Hal senada diungkapkan Rendra. “Memang disayangkan kalau hanya ada satu produk di outlet tersebut. Seharusnya tidak ada monopoli,” ujar Rendra, yang juga mantan anggota DPRD Jember.
Ke depan, outlet punya pemerintah daerah hendaknya tidak dimonopoli oleh satu merek saja. Ia mencontohkan, outlet milik keluarganya ‘Primadona’ menerima 19 merek suwar-suwir.

“Kami menampung 19 merek suwar-suwir dari 19 UKM yang ada di Jember. Terutama dari produsen yang tidak mempunyai outlet,” ujarnya.
Karena itu, ketika menjadi anggota DPRD periode 2004–2009, dirinya yang duduk di Komisi B mendesak agar ada outlet baru milik pemda. Outlet itu rencananya dibuka di daerah Jubung.

“Nantinya saya minta agar tidak ada monopoli produk dalam outlet tersebut. Harus seragam dan bisa menampung semua produk perajin yang ada di Jember, terutama sektor UKM,” tegasnya.

Sebab, diakui Rendra, pemasaran menjadi persoalan klasik dalam dunia suwar-suwir. Pemkab Jember seharusnya membantu perajin suwar-suwir. “Memberikan stimulus seperti permodalan, manajemen, pengawasan kualitas dan standar mutu, serta mencari terobosan pasar,” imbuhnya.

Ke depan, tantangan perajin suwar-suwir tidak terjadi di antara para perajin saja. “Namun bagaimana perajin yang masih home industry berhadapan dengan produsen permen atau manisan skala industri besar, pabrikan. Itu harus dipikirkan mulai sekarang,” kata Rendra yang mencatat saat ini ada sekitar 40 perajin suwar-suwir di Jember. uni

Jangan Lengah dengan Perubahan Psikologi Konsumen

Mau usaha bertahan lama? Perhatikan perubahan psikologis konsumen yang memengaruhi perilaku mereka membeli. Kalau piawai dan jeli, sukses di depan mata.
Apa saja yang harus dilakukan agar semua bisa tercapai dengan lebih baik?

Pertama, mengolah data jadi informasi yang dapat dipahami konsumen. Jika konsumen keliru dalam memahami informasi sebuah produk, mereka pelan tapi pasti akan berusaha untuk menghindarinya. Akan tetapi jika pemahaman atas informasi sebagaimana yang diinginkan, bukan tidak mungkin akan menambah konsumsi atas produk itu.

Kedua, pembelajaran yang tepat kepada pelanggan agar dapat mengambil manfaat dari produk secara optimal. Produk dengan beragam manfaat tidak akan berarti banyak, kalau konsumen tidak menggunakan secara tepat.

Misalnya, ada produk sabun cuci dengan beragam manfaat mulai dari membersihkan kotoran, noda tinta, sampai limbah ramah lingkungan. Jika kelebihan ini tidak dikomunikasikan secara baik dan kemudian diajarkan urutan penggunaan yang tepat, tentu tidak akan banyak berarti.

Ketiga, perubahan sikap dan perilaku konsumen. Menurut Toto Tasmara, pengusaha yang baik adalah mereka yang menganggap perubahan adalah keniscayaan dan peluang yang mesti dimanfaatkan secara optimal.

Salah satu perubahan perilaku yang dapat dicontohkan antara lain: Dulu, orang memandang tabu pagi-pagi sarapan di rumah makan. Tetapi ini, karena alasan kesibukan, orang tidak sempat sarapan di rumah. Pengusaha yang jeli akan menganggap ini sebagai peluang dn membuka restoran dengan layanan lebih pagi.

Contoh yang lain, atas prestasi Arema Indonesia Juara ISL 2009-2010 muncul mendongkrak kadar kebanggaan masyarakat Malang Raya. Bagi manajemen Arema, ini tentu peluang besar untuk memproduksi merchandise dalam jumlah banyak dan variatif. Ini momentum meningkatkan kecintaan masyarakat dan kepedulian atas keberlangsungan tim dalam jangka panjang. Bravo Arema….!!!n

Djadoel Corner ala Dyah Rahmalita

Menggeluti Usaha Pelipur Kenangan
Dyah Rahmalita menemukan ‘mainan’ baru. Lama berkecimpung di glass painting, ia kini melirik usaha kudapan dan mainan zaman dulu (jadul). Ini bukan banting setir dari glass painting. Misinya ada dua, yakni mencoba berinovasi dan ‘menjual’ nostalgia.

Usaha ini bernama Djadoel Corner. Di sana dijual kudapan dan mainan kuno alias angkatan toea. Nah, ada kudapan macam opak, biskuit warna-warni, permen cokelat merek Jago, permen Sarsaparilla, kuwe sagu Cap Gelatik, dan kuwe jahe. Untuk jenis mainan, ada wayang, truk kayu, utuk-utuk, umbul, neker (kelereng), gasing, bedhil-bedhilan, ular tangga, bongkar pasang, atau yoyo. Termasuk kaleng krupuk dan toples kuno yang dihiasi lukisan lucu sehingga terkesan unik.

Ikhwal usaha ini tiga tahun lalu. Ketika itu Lita -demikian ia akrab disapa- berjalan-jalan dalam gelaran Malang Kembali Festival Tempo Doelole. Stan-stan yang biasa mengisi acara itu, ujarnya, memang menawarkan makanan atau pernik tempo dulu, tapi dicampur dengan makanan atau pernik modern. “Tidak ada stan yang secara khusus menjual makanan atau mainan kuno,” kisahnya.

Alasan lainnya, stan glass painting Lita dalam gelaran itu jarang dilirik pembeli. Glass painting, yang memang menyasar kalangan menengah ke atas itu tak banyak laku. “Banyak yang cuma tanya-tanya,” ujarnya.

Akhirnya, tebersitlah keinginan menjual aneka penganan dan mainan jadul dalam event Malang Tempo Doeloe tahun berikutnya. Lita yang hobi traveling dan mengumpulkan barang antik itu blusukan mencari panganan ‘masa kecil’ itu ke pabrik pembuatannya dan pasar tradisional di Bandung, Jakarta, Semarang, dan sekitar Malang.

Permen Sarsaprilla misalnya, ia dapatkan dari pabrik tua di Pasuruan. Cokelat Tulip didapatnya dari Semarang. Ketika berburu ke Jogjakarta, ia malah dikejutkan dengan temuannya, berupa mainan umbulan (kartu) bergambar serial wayang. Kartu yang masih berbentuk lembaran itu memang ndeso dan unik. Kertasnya buram, dan ditulis dengan ejaan lama. Karena sangat langka, Lita membungkusnya dengan karton dan menyimpannya untuk diri sendiri.

Hobi blusukan ini,membuat usaha ini cepat terwujud. Responsnya ternyata sangat bagus. “Usai acara Malang Kembali, banyak yang menelepon di mana letak toko saya. Lha wong, belum punya toko, akhirnya sementara jualan di rumah,” tukas perempuan yang baru-baru ini menerima order kaleng krupuk kuno untuk suvenir pernikahan.

Pembeli dagangan Lita, sebagian besar untuk oleh-oleh. Tapi tak jarang dagangannya juga menjadi media ‘nostalgia’ orangtua untuk dibagikan kepada anaknya. Inilah yang disadari Lita sebagai salah satu keunggulan jualannya. Sebagai pecinta barang lawas, ia mahfum, teknologi telah membuat anak masa kini menyingkir dari mainan tradisional. “Setidaknya orangtua bisa menceritakan dolanannya atau jajanannya zaman dulu,” jelasnya.

Penganan dan mainan itu dijual dengan harga variatif tapi cukup murah. Yakni mulai dari Rp 1.000 hingga Rp 5.000. Yang paling mahal adalah wadah kerupuk yang telah disaput dengan aneka lukisan dan diisi kue. Harganya bisa sampai Rp 50.000.nesi/sas

Omzet Desain Web Tak Pernah Surut


Pertumbuhan industri web design sebagai salah satu model industri kreatif yang semakin menggurita menjadikannya tidak bisa dipandang sebelah mata. Mengusung inovasi dan kreativitas membangun ide, industri yang rata-rata digawangi anak-anak muda ini mampu meraup omzet puluhan juta rupiah setiap bulannya.

Saat ini ada sekitar ratusan pengelola bisnis website design bermunculan. Ada yang benar-benar dikelola secara profesional dan ada pula yang setengah hati. Kliennya pun beragam, mulai perusahaan skala mikro, menengah hingga perorangan. Tarif yang dipatok juga beragam tergantung tingkat kerumitan dan tempo pengelolaan.

Pemilik PT Otak Kanan, salah satu web designer di kawasan Klampis Ngasem Surabaya, M Santoso Putra, bisnis mendesain website dijamin tak ada surutnya.

“Penetrasi internet gila-gilaan. User-nya perlahan naik, tapi masih sangat sedikit. Ini artinya, potensi pasar yang bisa digarap masih terbuka lebar,” jelas alumnus Fisika MIPA ITS ini, Kamis (24/6).
Jika di luar negeri market-nya hampir jenuh, lain halnya di Indonesia yang baru beranjak. “Saingan memang banyak tapi potensinya tidak kalah besar, tergantung bagaimana kita menggali ceruk pasar dan menawarkan inovasi,” yakin Santoso.

Klien tetapnya tercatat sekitar 208 perusahaan maupun perorangan. Profit yang bisa dikantongi per bulan minimal Rp 25 juta. Usaha ini dikelola Santoso bersama delapan rekannya yang tergabung dalam tim kreatif.

Menurutnya, siapapun bisa mendirikan usaha semacam ini kalau punya keahlian. Ongkos yang dipatok beragam, mulai Rp 500.000 untuk skala industri mikro hingga Rp 2,5 jutaan untuk skala perusahaan menengah (misal menggarap web company profile). Untuk perpanjangan maintenance dikenakan biaya Rp 500.000.

“Untuk menyikapi persaingan, kita punya website khusus yang menampung ide-ide kreatif dari masyarakat dan mahasiswa. Kita ajak mereka bermitra dengan imbalan khusus. Penggalian ide juga berasal dari sini,” ujar kelahiran Mojokerto 3 Mei 1981 ini.

Ke depan, ia berharap bisa melakukan ekspansi di bidang multimedia. “Sekaligus menawarkan hak waralaba tapi khusus pemasaran saja, sifatnya BO (business opportunity),” sambung Santoso.
Salah satu konsumen, Rizki Rahmadianti, pemilik www.rumahjilbabananda.com mengakui, pemasaran produk via internet sangat membantu.

“Order pertama kali produk jilbab saya kan dari online. Saya betul-betul tidak menyangka, waktu itu sekitar 2003 langsung ada order dari Jakarta. Orang yang tidak saya kenal tapi langsung pesan 200 unit dengan pembayaran transfer uang di depan,” aku wanita 33 tahun ini.

Saat itu, urusan web design dipercayakan pada teman adiknya. “Bikin desainnya tidak mahal kok, tidak sampai Rp 500.000. Beli hosting-nya juga murah. Jika desain bagus, foto menarik dan eye catching, dijamin orderan lancar. Sebab promosi online masih mengandalkan visual,” pungkas Rizki.

Pemilik DheZign Online Brian Arfi Faridhi manambahkan, jika potensi menggarap bisnis semacam ini sangat terbuka. “Ibarat fashion yang nggak ada matinya. Industri apa saja, omzetnya boleh naik turun tapi industri web design pasti jalan terus. Ini karena kecenderungan masyarakat saat ini mengarah ke urban dan computerize minded,” katanya.

Lihat saja 10 tahun ke depan, masyarakat Indonesia akan didominasi masyarakat digital. Internet akan sangat melekat dengan kehidupan sehari-hari. “Mobilitas akan tinggi dan orang butuh kemudahan memperoleh informasi. Secara otomatis, pertumbuhan bisnis mendesain website akan ikut naik,” yakin mahasiswa Teknik Industri ITS ini.

Modal awal membangun bisnis ini, menurut Brian, cuma satu unit komputer, printer dan kemauan. “Kalau skill sudah punya secara otodidak dibantu istri saya. Tinggal marketing saja dari mulut ke mulut dan internet,” ujar pria 24 tahun yang pernah menyabet penghargaan Wirausaha Muda Mandiri ini.

Omzetnya kini minimal Rp 30 juta per bulan, ia gunakan untuk mengembangkan jaringan dan menggaji karyawan. “Agar bisnis semakin kuat dan persaingan semakin sehat, idealnya kita punya asosiasi. Sayangnya sekarang belum ada,” kata Brian.

Penggarapannya saat ini sangat sporadis. Bisnis web design nantinya akan tersegmentasi. Kalau jumlah pelakunya sangat banyak pasti akan terjadi konvergensi.
“Jadi, siapapun yang berniat menekuni usaha ini tidak perlu ragu. Boleh coba-coba desain dulu tanpa dikomersialkan, nanti kalau tampilannya sudah oke baru cari klien dan dipasarkan secara luas,” tegasnya. ame

Agar Dikenal, Mesti Aktif Pertemuan Bisnis

Akses
Perkembangan UKM di Tanah Air dari tahun ke tahun terus meningkat, baik jumlah maupun ragam usaha yang digelutinya. Hanya saja, masih banyak ketimpangan yang menyelimuti pelaku UKM, di mana banyak tawaran produk namun belum didukung pasar.

Founder Komunitas UKM Jatim Wuryanano mengakui, ia cukup senang melihat geliat masyarakat yang ingin berusaha mandiri dengan belajar merintis usaha sendiri. Meski tanpa modal atau bahkan rela merogoh tabungan sendiri, kalangan UKM pemula cukup semangat menciptakan produk dan ikut beragam pelatihan.

“Sayangnya, kondisi itu tak diimbangi pasar yang mendukung. Bahkan sebagian besar UKM kita tak peduli itu. Mereka hanya berpikir produksi-produksi atau menciptakan inovasi baru saja,” kata Wuryanano, Jumat (16/7).

Sebagai produk UKM, lanjutnya, tentu saja produknya belum banyak dikenal. Dan ini perlu waktu dan proses bagi calon pembeli untuk memutuskan membeli. Sebetulnya, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk menjaring pasar atau paling tidak mengenalkan produknya ke publik. Selain mengikuti pameran, sebaiknya aktif dalam pertemuan bisnis yang sering digelar komunitas UKM.

“Di Jatim, kita sering menggelar pertemuan bersama komunitas UKM. Terbukti banyak anggota yang berhasil karena di sini merupakan media pemasaran dan memperkuat jaringan usaha dan pasar,” urai pimpinan lembaga pendidikan profesi Swastika Prima ini.

Ironisnya, ucap Wuryanano, selama ini ia sering mendapati banyak UKM yang justru enggan ikut pertemuan semacam itu. Alasannya bermacam-macam, mulai tak ada waktu karena terlibat di produksi hingga malas.

Padahal, jika ingin maju, pelaku atau pemilik usaha tak harus setiap hari terlibat langsung dalam urusan produksi. “Produksi bisa diserahkan kepada orang lain yang dipercaya, sehingga pemilik bisa leluasa bergerak untuk mencari pasar,” tegasnya.

Di sisi lain, ia melihat selama ini UKM terkesan menggantungkan bantuan pemerintah atau BUMN. Ini bisa dilihat dari kurang antusiasnya mereka ketika mendapat kesempatan ikut dalam pameran.
“Keikut sertaan dalam pameran seakan hanya sebagai prasyarat dan pelengkap. Padahal momen itu bisa dimaksimalkan untuk mengenalkan produk kita, karena pengunjung lebih segmented,” imbuh Wuryanano. dio

Menapak Asa dari Alas Kaki


Alas kaki kini lebih beragam jenis dan modelnya. Ini karena alas kaki dipilih bukan hanya pertimbangan nyaman saat dipakai, tapi juga bentuknya yang cantik dan unik dipandang. Tak terkecuali sandal jepit. Jika dulu sandal jepit dengan model standar yang itu-itu saja, beberapa tahun terakhir berkembang lebih kreatif.

Sebut saja sandal karakter yang merupakan produk kerajinan terbuat dari spon, kemudian dibentuk pola tokoh kartun yang unik dan lucu. Pola tokoh ini terinspirasi dari film kartun, sehingga sangat disukai anak-anak, bahkan remaja dan orang tua.

Bentuknya yang unik dan warna-warni, membuat model sandal satu ini kian mendapat tempat di hati konsumen. Terlebih harganya yang sangat terjangkau. Tak salah jika dalam waktu singkat pelaku usaha produk ini terus bertambah karena melubernya permintaan.

Seperti penuturan Endang MH, karyawati salah satu pusat kebugaran di Surabaya. Sejak melihat salah satu koleksi produk sandal karakter di internet, ia langsung tertarik dengan beberapa model. Pencarian alamat pun dilakukan hanya untuk membeli 1-2 pasang model.

“Modelnya lucu-lucu, seperti panda, stroberi, ikan dan lainnya. Harganya pun bisa dibilang hampir sama dengan sandal jepit rumahan. Bedanya, sandal karakter ini bisa dipakai jalan-jalan, terlihat santai namun trendi,” kata Endang, Kamis (15/7).

Ketika ia memakai sandal ini, ternyata banyak tetangganya yang tertarik. Merasa ada peluang, ibu rumah tangga ini mencoba menawarkan produk unik itu. “Toh ada sistem keagenan yang memberikan harga diskon dari produsen, dan itulah margin kita. Jadi, selain bisa selalu update model baru untuk dipakai sendiri, bisa juga untuk jualan kecil-kecilan,” ungkapnya.

Besarnya pasar sandal karakter menjadi peluang tersendiri tak hanya bagi produsen, namun juga jaringan penjualan yang sebagian besar diserahkan kepada agen. Effendi, produsen sandal Kaki-Q dan Japit-Q mengakui, tren sandal karakter mulai booming sejak 2008, di mana banyak produk beredar di pasar.

“Persaingan memang cukup ketat. Namun produk yang memiliki kualitas bahan di atas rata-rata akan tetap eksis, demikian juga dengan harga yang tentunya harus bisa terjangkau dan kompetitif,” ulas pria yang kini telah memiliki lebih dari 35 agen di seluruh Indonesia ini.

Selain itu, Effendi yang mengembangkan usaha bersama istrinya ini, terus mengeluarkan model-model baru dengan inovasi yang unik. Ini menjadi salah satu kunci agar permintaan produknya terus meningkat. Soal satu ini, paling tidak setiap dua bulan sekali ia menciptakan 1-2 model baru.

Dengan harga jual kisaran Rp 20.000-25.000 per pasang, saat ini rata-rata ia mampu memproduksi sekitar 8.000-10.000 pasang per minggu. Sebagian besar produksi dikerjakan melalui kelompok atau mitra kerja perajin yang ada di sekitar tempat tinggal. “Pekerja tetap 15 orang, lebih dominan untuk tenaga pemasar,” ujar warga perumahan Garden Dian Regency di kawasan Juanda, Sidoarjo.

Saat ini, Kaki-Q telah mengoleksi puluhan model yang ia kategorikan dalam beberapa tema, seperti sandal distro, sport edition, Baguza dan Gimmick. Ukuran tersedia mulai kecil, sedang dan besar.

Produk sandalnya beredar melalui agen-agen di Jakarta, Bandung, Manado, Mamuju, Semarang, Jogjakarta, Palembang, Lampung, Padang, hingga Kalimantan. “Ada permintaan dari Jepang, Timor Leste, Brunei Darussalam, Malaysia dan Singapura. Namun masih jadi pertimbangan karena kualitasnya harus prioritas, kami juga mesti mempersiapkan penambahan kapasitas produksi,” jelas Effendi, yang saat ini meraup omzet mendekati Rp 500 juta per bulan.

Kondisi penjualan yang membaik juga dialami produsen sandal kreatif merek Dhiif’s. Kepala Produksi Dhiif’s Niken Puspoweni mengakui, produksinya terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, saat ini sekitar 7.000 pasang per hari.

Permintaan yang terus mengalir ini lantaran usia sandal yang biasanya tidak lama. Sandal Dhiif’s lazimnya sandal rumahan yang terbuat dari bahan spon padat yang rata-rata usianya satu tahun.
Tak ubahnya sandal jepit dari bahan karet, kepadatan spon juga bisa tergerus alias geripis. Lemnya bisa tidak menguat lagi. Pada saat itu maka orang akan beli sandal baru dengan model baru.

“Kita sengaja bermain di segmen low-end sandal harian, karena kalau harganya murah maka perputaran uangnya juga cepat. Sistem penjualan dengan agen, tidak mal-to-mal atau bikin outlet khusus karena ongkosnya pasti besar sekali,” jelas Niken.

Dengan sistem pemasaran agen, terbukti penjualan sandal Dhiif’s meroket. Saat ini omzet per bulannya bisa mencapai Rp 1,5 miliar. Apalagi bulan depan upaya ekspor akan dijajaki. “Bulan depan ada permintaan dari Malaysia 300 pasang. Ini ekspor pertama, makanya tidak banyak karena distributor di sana ingin melihat respons pasar dulu,” katanya.

Harga jual per pasang Rp 23.500, baik sandal anak maupun dewasa. Untuk luar pulau harganya menjadi Rp 25.000 per pasang. Dhiif’s merupakan sandal yang diproduksi sejak 2003 oleh pasangan suami istri Purnomo Probo Nugroho dan Nur Wahyu Hidayati, yang memang perajin sandal.

Bagi suami-istri ini, bentuk sandal yang standar market-nya sudah jenuh karena persaingan dengan sandal lain sangat padat. “Waktu itu iseng-iseng bikin sandal karakter boneka untuk anak. Responsnya bagus. Maka terus dikembangkan berbagai karakter, termasuk sandal dewasa,” ujarnya.

Karakter yang disajikan ada mobil, tupai, panda, hati, jamur, paus, kumbang, bola basket, anggur, apel, belimbing, stroberi, kodok, dan masih banyak lagi jenisnya, yang bisa dibentuk sesuai order. dio/ame

Bisnis Warisan yang Membuahkan Hasil


*CA Purna Rina Samodra, Produsen Sepatu Bordir

Bordir tak hanya cantik melekat di pakaian tubuh. Alas kaki pun memajangnya nan imut sebagai aksen. Bisnis sepatu bordir memang belum sebeken sepatu kulit. Namun di pasar dan segmen tertentu, bisnis ini bisa sangat menjanjikan.

Bagi Cicilia Awang Purna Rina Samodra atau akrab disapa Rina, 33, usaha sepatu bordir berawal dari ide mamanya yang memang suka produk yang unik-unik.
“Tahun 2003 pelaku usaha sepatu bordir tidak seperti sekarang. Almarhum mama saya melirik peluang ini. Buktinya, dalam beberapa tahun ke depan hasilnya memang menjanjikan,” ujarnya mengawali cerita, Kamis (15/7) malam.

Kala itu, model pemasarannya lewat jaringan teman dan saudara, serta aktif mengikuti pameran di dalam negeri maupun luar negeri, seperti Belanda, Prancis, Maroko. Orderpun mengalir. Ia tak hanya melayani pemesanan di Surabaya dan sekitarnya, tapi juga luar pulau.

“Ekspor memang belum dalam jumlah besar karena ketika pameran di luar negeri selalu bawa banyak sepatu dan laku. Tahun ini kita ingin jajagi ekspor ke Australia,” ujar lulusan Teknik Sipil Royal Melbourne Institute of Technology University (RMIT), saat ditemui di gerainya City of Tomorrow (Cito).
Bisnis sepatu bordir ini merupakan usaha sampingan bagi keluarganya. Sehari-hari, wanita yang sempat menetap di Australia sejak kelas 2 SMA hingga lulus kuliah ini, bekerja di perusahaan kontraktor.

“Kakak dan kedua adik saya tinggal di Australia. Tidak ada yang meneruskan usaha mama. Akhirnya saya pulang ke Surabaya ngurusi bisnis ini dan kalau pagi bekerja di perusahaan kontraktor,” ujar anak ke-2 dari empat bersaudara ini.

Untuk memantapkan usahanya, almarhum mama akhirnya membeli sebuah stan di Cito seharga Rp 400 juta pada 2006. Stan itu diberi nama Jewuskha, yang dalam Bahasa Rusia berarti perempuan.
“Yang pilih nama stan itu adalah almarhum papa. Sengaja tidak sewa karena itung-itung buat investasi bersama,” aku arek Suroboyo kelahiran 11 November 1977, yang kini menanti kelahiran anak pertamanya.

Penjualan melalui gerai Jewuskha rata-rata 10 pasang per hari, belum termasuk orderan khusus dari distributor. “Selama ini, sepatu model dewasa lebih banyak pembelinya,” ungkap Rina.

Saat ini, dengan menggandeng 10 perajin Bangil, Rina memroduksi rata-rata 500 pasang sepatu per bulan. Jumlah ini di luar order grosiran. Harga jualnya mulai Rp 65.000 (sepatu anak wanita), Rp 70.000 (sepatu wanita dewasa motif biasa) dan Rp 75.000 (sepatu wanita dewasa motif bordir terawang). Untuk ukuran sepatu anak mulai 22-33, ukuran dewasa mulai 34-43.

“Modal awalnya dulu Rp 10 jutaan, sekarang sudah berkembang. Tapi sejak dulu sampai detik ini tidak ada niatan untuk pinjam bank karena prosedurnya pasti ribet. Kita atasi pakai modal keluarga dulu,” imbuh Rina.

Ia mengakui, dibukanya kran perdagangan bebas sempat membuatnya ketar-ketir. Sepatu-sepatu China sangat murah. Banyak orang yang masih berburu harga dibandingkan model atau kualitas.
“Apalagi sepatu saya menyasar segmen middle. Jadi, kita harus rajin berinovasi motif dan modelnya. Rajin hunting di dunia maya. Untung saja bahan bakunya keseluruhan dari lokal jadi biaya produksi bisa ditekan,” terang Rina.

Ke depan, wanita berpostur tomboy ini akan mengembangkan pemasarannya dalam bentuk website. “Nanti akan kita buatkan website, karena selama ini konsentrasi saya masih di pekerjaan utama di kontraktor, jadi bagi waktunya ngurusi website masih sedikit repot,” pungkasnya.

Menjaring Rupiah dari Rajutan Tas Talikur


Talikur (drawstring) yang biasa digunakan sebagai tali sepatu dan tali peluit (setelah dianyam), ternyata bisa disulap menjadi tas tangan yang eksotik dan menawan. Bahkan, bisa dibilang bernilai eksklusif karena hampir 100 persen pengerjaan tas talikur ini mengandalkan keterampilan merajut.

Kreasi kreatif itu benar-benar terwujud ketika talikur nilon dan katun berada di tangan Sulastri, 51, warga Jalan Merdeka, Desa/Kecamatan Mojowarno, Jombang. Ia memulai membuat ketrampilan tas ini sejak tiga tahun silam, ketika seorang tantenya menularkan ilmu merajut talikur.

“Semua dibuat menggunakan tangan, hanya saat menjahit lapisan dalamnya menggunakan mesin jahit. Mula-mula model dan warnanya itu-itu saja, kemudian saya kembangkan sendiri,” kata Sulastri, ditemui di kediamannya, Senin (19/7).

Dia pun lantas merancang berbagai bentuk tas rajut, dengan paduan warna yang lebih matching. “Kami kombinasikan dengan berbagai aplikasi, utamanya mutiara,” imbuh Sulastri, yang akrab disapa Cik Giok.
Agar lebih elegan, dia menempelkan logam antikarat berbentuk inisial atau huruf G, yang merupakan singkatan dari namanya, Giok. “Ini sekaligus sebagai merek,” tandasnya.
Setelah jadi, tas-tas itu dipajang di etalase rumah yang juga sebagai salon kecantikan bernama Monalisa. “Pembeli awalnya pelanggan salon, tapi berkembang ke masyarakat umum,” ceritanya.

Kini pelanggannya sudah banyak. Bahkan, dirinya mengaku tidak pernah punya stok. “Lebih banyak justru by order. Mereka pesan, kami buatkan sesuai kemauan pemesan,” tambahnya.
Itu pula yang mendasarinya untuk menyediakan sejumlah foto berbagai contoh model tas rajut. “Dengan melihat foto ini, pemesan bisa memilih sesuai selera,” kata Cik Giok, sembari memperlihatkan foto-foto model tas.

Pembeli tas rajut talikur beragam, kalangan istri pejabat hingga pembeli yang berniat untuk menjual kembali, terutama dibawa ke luar pulau. “Kabarnya kalau di luar pulau, misalnya Aceh, harganya bisa dua kali lipatnya,” papar Cik Giok.

Harga tas rajut made in Sulastri ini beragam, sesuai ukuran serta tingkat kesulitan saat membuatnya. Yang jelas, harga satu tas berkisar antara Rp 90.000 hingga Rp 300.000. Kendati cukup laris, dia hanya memiliki satu karyawan. Ini karena Sulastri lebih suka mengerjakan sendiri pekerjaan merajut. “Karyawan biasanya saya beri tugas mengerjakan yang mudah-mudah saja, sedang yang relatif sulit saya kerjakan sendiri. Rasanya lebih puas,” kilahnya.

Karena lebih banyak dikerjakan sendiri, Cik Giok tidak bisa memproduksi secara massal. “Satu tas memerlukan waktu beberapa hari, bahkan ada yang sampai seminggu,” tuturnya.
Konsekuensinya, omzet tidak terlalu besar. “Kalau soal omzet, saya tidak pernah menghitung. Bagi saya yang paling penting bisa berkarya, dihargai dan dimanfaatkan orang,” imbuh Cik Giok.

Kerajinan tas bukan hanya dari talikur saja. Wahliya Rosa, 27, membuktikan dengan membuat dari bahan daur ulang berbahan spunbond. Tidak butuh modal besar, tapi keuntungan menjanjikan.
Bahan spunbond ini mungkin agak awam terdengar di telinga. Lazimnya, bahan ini dikenal sebagai kain laken (nonwoven/sisa kain yang dipress). Banyak dipakai untuk tas goodybag seminar dan hajatan.
Wahliya Rosa mengatakan, spunbond mudah didapat, harganya murah dan ramah lingkungan. “Tinggal bagaimana kita mencari pasar, lalu mengkreasikan bentuk dan sablonan gambar atau tulisan,” katanya, Rabu (21/7).

Harga jual tas berbahan spunbond sangat terjangkau, untuk model standar rata-rata Rp 3.000–6.000/pieces. Tas dengan kerumitan tertentu Rp 10.000-15.000/pieces. “Promosinya terbilang gampang, bisa melalui website, mencantumkan nama dan nomor telepon di tiap tas yang sudah diproduksi atau kerja sama dengan instansi, perusahaan, serta lembaga pendidikan,” jelas Wahliya.

Di Surabaya, pelaku usaha tas spunbond jumlahnya puluhan. “Kualitas bahan beragam, harga juga beda-beda. Bahan baku terbesar dari Gresik,” ujar wanita yang memulai usaha sejak 2007.

Ide awalnya, ia kesulitan mencari tas pembungkus hantaran saat pertunangannya. Seorang teman memberi contoh tas spunbond, dari situlah ide berkembang. Tiap minggu kini ia dan suami bisa memproduksi 3.000–4.000 pieces. “Kalau musim hajatan pasti ramai, misalnya Idul Adha, Lebaran, musim sunat, bulan besar saat kawinan,” sambung Wahyu Budi Sukarno, 29, sang suami.

Wahyu Budi menambahkan, modal awal membuka usaha ini cuma Rp 400.000. Termasuk beli bahan, ongkos pemotong kain, ongkos penjahit lepas dan ongkos sablon. ”Sekarang omzet minimal Rp 16 juta per bulan. Alhamdulillah bisa nutup biaya hidup karena istri sudah keluar dari pekerjaannya sebagai perawat,” pungkas pria, yang memiliki gerai di Griya Karya Sedati Permai.

Wulandari Triana, pengguna jasa tas spunbond mengaku, pernah mengorder 50 unit tas untuk acara sunatan putra sulungnya. Tas ini, diakuinya, lebih awet dan lebih ramah lingkungan.
“Ordernya di daerah Rungkut. Sengaja saya pesan tas dari bahan kain itu karena kalau tas kresek atau tas karton sudah biasa. Selisih harga per pieces juga sedikit,” lanjut wanita, yang sehari-hari tenaga pemasaran ini. uto/ame


Sulastri alias Cik Giok di tengah tas rajut berbahan talikur buatannya.


Tas rajut berbahan talikur nilon dan katun buatan Sulastri alias Cik Giok

Sabtu, 24 Juli 2010

Seringkali Disepelekan

Seringkali Disepelekan

Perempuan menjadi sumber kehidupan bermula dalam segala hal. Dari perempuan itu, sumber kehidupan ditentukan, mulai dari hamil, menyiapkan makanan, dan sebagainya.

Dan berbicara soal perempuan, Dewi Budiati TJ Sahid, praktisi lingkungan yang merupakan pendiri Bumi Hijau Lestari, Ketua Tim Medan Green and Clean serta Ketua Yayasan Peduli ini, selalu menaruh harapan besar kepada perempuan untuk segera bergegas mengubah pola hidup dan menyelamatkan kesehatannya dari ancaman pencemaran lingkungan.

Wanita pemerhati sampah ini bukan tanpa alasan menaruh harapannya kepada perempuan. “Wanita itu penyubang sampah terbesar. Contohnya ibu rumah tangga, begitu pulang dari pasar, langsung membawa banyak plastik. Kalau habis shoping, perempuan banyak bawa plastik. Jika sudah tidak terpakai lalu dibuang begitu saja. Perempuan sering menyepelekan sampah yang berdampak kerusakan lingkungan,” kata ibu lima anak ini.

Makanya, kegiatan yang dilakukan wanita yang pernah jadi promotor tinju lisensi A Internasional ini melakukan daur ulang sampah. Daur ulang sampah itu disulapnya menjadi kerajinan tangan berbentuk pot bunga, tas serta aksesori lainnya. “Daur ulang sampah ini saya dedikasikan kepada ibu-ibu rumah tangga di Medan. Sejak tiga tahun lalu Pemko Medan menyambut baik daur ulang sampah,” tambahnya.

Menurutnya, jika perempuan melakukan teknik PITA (Pilah Tanam), yakni menanam sampah basah dan memilah sampah kering untuk dimanfaatkan secara daur ulang atau dijual ke pemulung, maka 75 persen limbah sampah bisa ditekan sekaligus memperpanjang umur Tempat Pembuangan Akhir sampah agar tidak menggunung. “Perempuan harus bijaksana memperlakukan sampah sejak dini demi kesehatan bersama,” bilangnya.

Dikatakannya, bahaya sampah sangat berbahaya bagi kesehatan. Kantong plastik telah menjadi sampah yang berbahaya dan sulit dikelola. Diperlukan waktu puluhan bahkan ratusan tahun untuk membuat sampah bekas kantong plastik itu benar-benar terurai. “Bahaya kantong plastik bagi lingkungan hidup sangat besar. Saat terurai, partikel-partikel plastik akan mencemari tanah dan air tanah karena kehilangan kesuburannya,” tuturnya.

Tapi, bila sampah plastik dibakar malah akan menghasilkan asap beracun berbahaya bagi kesehatan. Kata dia, plastik akan mengurai di udara sebagai dioksin. Senyawa ini sangat berbahaya bila terhirup manusia. Dampaknya bisa memicu penyakit kanker, hepatitis, pembengkakan hati, gangguan sistem saraf dan memicu depresi.

Memang, sambungnya, sampah masih dianggap sepele. Tapi jika tak ada kemauan baik dari kaum perempuan, justru akibatnya akan berbahaya. Dewi mengharapkan ibu-ibu melakukan penanaman pohon di rumahnya. (ila)

Berbahaya Bagi Lingkungan dan Kesehatan

Salah satu faktor yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup yang sampai saat ini masih tetap menjadi “PR” besar bagi bangsa Indonesia adalah pembuangan sampah plastik. Kantong plastik telah menjadi sampah yang berbahaya dan sulit dikelola.

Jika dibakar, sampah plastik akan menghasilkan asap beracun yang berbahaya bagi kesehatan yaitu jika proses pembakaranya tidak sempurna, plastik akan mengurai di udara sebagai dioksin. Senyawa ini sangat berbahaya bila terhirup manusia. Dampaknya antara lain memicu penyakit kanker, hepatitis, pembengkakan hati, gangguan sistem saraf dan memicu depresi.

Kantong plastik juga penyebab banjir, karena menyumbat saluran-saluran air, tanggul. Sehingga mengakibatkan banjir bahkan yang terparah merusak turbin waduk. Diperkirakan, 500 juta hingga satu miliar kantong plastik digunakan di dunia tiap tahunnya. Jika sampah-sampah ini dibentangkan maka, dapat membukus permukaan bumi.

Setiap tahun, sekitar 500 miliar –1 triliun kantong plastik digunakan di seluruh dunia. Diperkirakan setiap orang menghabiskan 170 kantong plastik tiap tahun. Lebih dari 17 miliar kantong plastik dibagikan secara gratis oleh supermarket di seluruh dunia setiap tahunnya.
Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPLKTS) Sobirin, pengolahan sampah menjadi solusi terbaik. Jika rumah tangga atau komunitas terkecil di lingkungan belum bisa mengolahnya, di daur ulang, maka pemilahan menjadi langkah kecil terbaik. “Terlepas dari usaha dan upaya tersebut, semuanya berpulang kembali kepada individu-individu masing-masing. Kesadaran dirilah menentukan berjalan atau tidaknya upaya itu,” pungkasnya. (net/ila)

Mengenali Risiko Stres Perempuan Bekerja

Perempuan semakin terbuka untuk mengembangkan dirinya. Potensi dan kemampuan kaum hawa juga setara dengan kaum pria. Namun, menurut psikolog Kasandra Putranto, perempuan berkarier memiliki potensi risiko stres. Perempuan cenderung memiliki perasaan bersalah, baik di rumah maupun di kantor, karena posisinya sebagai ibu, istri, dan karyawan membuatnya kesulitan membagi peran.

Untuk mengenali potensi risiko stres pada perempuan bekerja, Kasandra menyebutkan beberapa masalah umum yang dihadapi.

  1. Merasa bersalah di tempat kerja karena pikiran terbagi dengan urusan di rumah.
  2. Merasa bersalah di rumah karena tidak optimal menyelesaikan pekerjaan kantor.
  3. Merasa bersalah meninggalkan pekerjaan, saat harus membagi waktu dengan urusan keluarga misalnya.
  4. Mengurangi kepercayaan diri karena merasa tidak optimal di rumah atau di kantor.
  5. Kekurangan waktu untuk diri sendiri karena waktu habis untuk mengurus keluarga dan pekerjaan.
  6. Kesulitan untuk berganti peran, membagi waktu kapan harus fokus ke pekerjaan atau keluarga.
  7. Membawa pekerjaan saat bersama keluarga.
  8. Berjuang keras untuk menyelesaikan semua pekerjaan, menyeimbangkan pekerjaan rumah dan kantor.
  9. Dihadapkan pada berbagai masalah dan berusaha mencari solusinya agar beban berkurang.
  10. Kehabisan energi yang berpengaruh pada kualitas hubungan dengan pasangan dan juga terhadap diri sendiri.

Menurut Kasandra, masalah di atas dihadapi oleh banyak perempuan berkarier. Masalah inilah yang kemudian memunculkan gangguan psikologis atau emosional dalam diri perempuan. Bentuknya berbeda pada setiap perempuan, dari depresi hingga gangguan kepribadian.

“Berpikir dan bertindak reaktif atas setiap masalah menjadi pertanda adanya gangguan emosional. Mudah terpancing emosi merespons masalah, misalnya,” tutur Kasandra.

Selain dapat melawan gangguan emosi dengan berpikir positif, Kasandra mengatakan kesamaan pengalaman yang dimiliki perempuan juga bisa memunculkan semangat bersama untuk saling berbagi mencari solusi. Untuk itu, perempuan perlu dukungan dari suami dan keluarganya. (net/jpnn)

Selasa, 20 Juli 2010

Biar survive pantang menyerah berinovasi

Usaha perempuan lulusan S2 Brawijaya ini, bisa jadi masih satu-satunya yang asli bikinan arek di Malang. Pasar masih sangat luas dan menjanjikan. Tapi ia harus waspada, karena ada pedagang asal Jakarta yang menggeluti usaha sejenis dan telah merambah mal di Malang.

“Iya, saya tahu produk itu. Bahkan sebenarnya saya telah merintis Djadoel Corner sebelum produk itu masuk ke Malang. Saya pantang menjiplak, karena itu saya berusaha nggak capek berinovasi. Dari sisi kreativitas dan harga, punya saya lebih bersaing,” ujar perempuan single ini mantap.

Untuk itu, guna membesarkan Djadoel Corner, Lita telah memiliki segudang rencana. Ia telah berancang-ancang membuat paket-paket suvenir berkonsep jadul dengan merambah pesta ulang tahun, pernikahan, atau pesta. Ia akan ‘menjual’ paket nostalgia yang selama ini memang belum dilirik banyak orang.

Nah, semua itu memang masih ada di otak. Sebagai entrepreneur, Lita pun siap menghadapi tantangannya. Pengalaman membesarkan usaha glass painting, membuat Lita merasa lebih waspada melihat persaingan ke depan. Termasuk kesiapan untuk ditiru orang lain. “Saya melakukan usaha harus dengan enjoy, penuh kesenangan, bahkan bagian dari hobi. Inilah yang merangsang saya berkreasi,” kiatnya.

Lantas apa yang akan diwujudkan dalam waktu dekat? Lita menyebut : outlet. Djadoel Corner, ujarnya, harus dikenal masyarakat luas. Ada sebuah mal telah menawarinya gerai, tapi Lita hrus berpikir dua kali. Mal ini dinilainya kurang representatif untuk dagangannya. Selain tergolong sepi pengunjung, mal ini terletak di pinggir kota.

“Kalau bisa, nanti bikin dua outlet di dua mal sekaligus,” ujarnya semangat.nesi/sas

Sabtu, 17 Juli 2010

Laba Wangi Aromaterapi

Konsep ‘back to nature’ benar-benar menyihir minat konsumen terhadap produk-produk aromaterapi dan perawatan kecantikan tradisional. Kini, kebutuhan akan produk herbal ini terus bertumbuh Kenyataan ini membuka peluang pasar bagi pelaku usaha di bisnis ini.

Pelaku bisnis aromaterapi, Anita Trisusilowati dan Puspitarini Winanti, mengakui tingginya minat konsumen terhadap produk wewangian ini. Tentu kondisi ini tidak akan dilepas begitu saja. Bagi mereka, ini saat tepat untuk menawarkan sesuatu yang beda dan memberi nilai lebih pada produknya.

Karena itu, wajar jika saat ini cukup mudah mendapatkan produk aromaterapi dalam berbagai jenis, model dan aromanya. Mulai gerai-gerai di pusat perbelanjaan, salon-salon kecantikan hingga spa atau pusat perawatan tubuh, menyediakan produk-produk ini. Pembelinya pun terus meningkat dan berasal dari beragam segmen dan usia.

Erni Widyaningrum, misalnya. Wanita 40 tahun ini selalu mengisi udara di rumahnya dengan keharuman aromaterapi. Ia mengaku sangat menyukai aroma lavender ketika malam hari dan green tea, ketika siang atau sore hari.

“Dengan aromaterapi, seakan pikiran jadi tenang dan bisa melepas kepenatan setelah seharian bekerja, apalagi yang dari bahan alami. Suami dan anak-anak juga menyukai. Kami biasanya menggunakan jenis minyak yang dipanasi dengan lilin atau dengan listrik,” urai Erni, yang terus keranjingan memburu produk wewangian ini.
Berkah wewangian aromaterapi pula yang membuat Anita, 37, menggeluti usaha ini. Bisnis coba-coba sejak 2003 itu membawanya menjadi ahli peramu wewangian.

“Ada dua jenis aromaterapi yang ada di pasar, yakni dihirup dan dioles. Kalau dioles cara kerjanya melalui pembuluh kulit dan masuk ke syaraf. Intinya, efek aromaterapi mengubah pikiran dan perasaan seseorang menjadi lebih tenang, konsentrasi, bahkan menyembuhkan beragam penyakit,” urai Anita, ditemui di rumah sekaligus workshop-nya di kawasan Gubeng Kertajaya XIII Surabaya.

Menurutnya, jika dengan wewangian itu belum mampu membuat pikiran tenang, ia mempertanyakan bahan aromaterapi yang digunakan. Ini sangat penting, karena penggunaan bahan kimia justru bisa berdampak negatif. “Karena itu saya konsisten menggunakan bahan alami dari saripati tumbuh-tumbuhan atau bunga-bungaan,” ucapnya.

Produk aromaterapi merek Cakra kini sudah mencapai 50 item. Seperti lilin, minyak aromaterapi, beragam dupa, sabun rempah, lulur, serta produk perawatan kecantikan lainnya. Aromanya juga terus bertambah, di antaranya lavender, green tea, jasmine, cendana, romantic, ylang-ylang, kenanga.
Semula, ibu satu anak ini tidak menyangka bisnis aromaterapi yang dijalaninya bisa mendatangkan keuntungan menjanjikan. Padahal, ia merintis usaha ini hanya dengan modal Rp 5 juta-an.

Saat ini, konsumen tidak terbatas dari kalangan berumur, tetapi juga usia remaja. Umur yang berbeda memberikan dampak terhadap selera aromaterapi. “Remaja lebih suka yang fresh seperti floral, sedang mereka yang berumur tertarik dengan aroma wangi cukup menyengat,” jelas Anita.

Agar menjangkau seluruh kalangan, ia membuat variasi harga produk antara Rp 5.000 per item hingga Rp 200.000-300.000 per item. “Paket pernikahan lengkap juga ada,” kata Anita yang mengaku pernah menjadi mitra binaan beberapa perusahaan BUMN.

Dibantu sekitar 5 tenaga kerja, rata-rata ia mampu memproduksi 1.000 piece per item per bulan. Pasarnya 80 persen untuk lokal, seperti Jakarta, Palembang, Pontianak, Balikpapan, Samarinda, Bali, Lombok, Kupang, Jogjakarta dan Jatim. Untuk pasar ekspor, produknya telah menembus Australia, Jepang, Amerika Serikat, dan Kanada.

Meski terbilang telah dikenal, toh Anita terus menciptakan aroma-aroma baru. Untuk meyakini ramuannya bisa diterima pasar, ia pun memakai sendiri wewangian itu. “Tak jarang orang yang saya temui tertarik dengan aromanya. Di sinilah teknik marketing saya, selain aktif pameran,” tandasnya.
Pasar aromaterapi yang cukup potensial dan belum tergarap optimal, juga dimanfaatkan Puspitarini Winanti, warga Porong, Sidoarjo. Kesibukannya sebagai pengajar di salah satu SMP negeri di Gempol, Pasuruan, tak menyurutkan tekadnya merintis usaha pembuatan lilin aromaterapi.

“Di sekitar tempat tinggal saya, belum ada pelaku usaha di bidang ini. Karena itu saya coba-coba menekuni, dengan mengikuti pelatihan pembuatan aromaterapi,” jelas Puspita.

Karena terbilang baru, wanita 43 tahun ini rela mengerjakan sendiri pembuatan lilin aromaterapi yang ia buat dari bahan stearic acid dan glister. Tentu, ia harus pandai-pandai mengatur waktu sepulang kegiatannya mengajar.

Setelah membeli bahan lilin dan tempat gelas yang ia beli dari Surabaya, Puspita mulai meracik bahan. Sore mencetak, pagi harinya produk siap dipasarkan. “Paling sehari hanya mengerjakan sekitar 10 buah. Ini karena saya masih menjajaki pasar, selain modal harus merogoh kocek sendiri,” papar Puspita, yang mengaku hanya bermodalkan Rp 500.000 untuk mengawali usahanya.

Selama ini, pembeli selain dari teman-teman sesama pengajar, Puspita juga memanfaatkan media internet. Upayanya berhasil. Terbukti, sejumlah pembeli yang rata-rata kalangan mahasiswa rutin membeli produknya. Mereka datang dari Surabaya, Malang, serta Mojokerto.
Ia mengaku membidik celah pasar segmen menengah bawah. Maklum, harga yang dipatok cukup terjangkau di kisaran Rp 8.000-22.000 per buah. “Pasar aromaterapi masih cukup potensial, meski pemain di pasar ini cukup banyak. Tergantung inovasi masing-masing saja,” ungkap Puspita. dio

Tanpa Biaya, Tapi Selektif

AKSES
Geliat kreativitas UKM perlu support dari seluruh stake holder. Ketersediaan dan kemudahan jangkauan ruang pamer di tempat-tempat strategis bisa menjadi salah satu pendorong tumbuhnya sektor ini.
Inilah yang mengilhami Lan Fang untuk membuka Q-Corner Gift Shop di Hotel Java Paragon Hotel and Residences. Siapapun pelaku UKM bisa menampilkan produknya di sana tanpa dipungut biaya.

“Saya ingin merangsang para pelaku UKM Jatim untuk terus berkarya. Potensi mereka masih sangat besar, tapi kadang terkendala promosi. Di Q-Corner Gift Shop ini sistem pengambilan marjinnya berdasarkan konsinyasi,” kata Lan Fang, Kamis (1/7).
UKM memberi harga diskon padanya per item di bawah harga yang tertera di label. Responsnya bagus, banyak UKM yang berniat memamerkan produknya.

“Tapi saya sangat selektif, karena jika handicraft ingin naik kelas maka kualitas perlu ditingkatkan. Namanya saja produk buatan tangan, tentu harus beda dengan buatan mesin. Menonjolkan kreativitas, keunikan dan estetika,” jelasnya.

Tak hanya pelaku UKM, gerainya juga direspons para pekerja seni. Mereka tertarik memamerkan karyanya. “Dipikirnya itu galeri seni. Mungkin karena yang punya adalah seniman. Ke depan, saya ingin kembangkan sudut pamer ini menjadi galeri one stop shopping art and craft,” yakin Lan Fang.
Sederet kerajinan tangan yang bertengger antara lain, batik, kain lukis yang bisa digunakan untuk syal, gaun hingga wall hanging. Selain itu, kain sulam pita, glass painting, clay, batu ukir, aksesori dari tanah liat, sampai klompen kayu unik.

“Pembelinya tak hanya tamu hotel, tapi juga luar hotel. Wisatawan asing banyak yang berminat. Sayangnya, selama ini masih terkendala stok. Produk handicraft penjualannya memang slow moving, tapi kalau order lagi bagus maka jumlah barangnya pun harus banyak. Namanya produk buatan tangan skala UKM, suplai barang tentu tidak secepat produk buatan pabrikan,” pungkasnya. ame

Bikin Racikan Otodidak, Jualan Lewat Online

Laila Asri, Pembuat Produk Perawatan Tubuh Pourvous
Industri spa bisa dibilang tengah memasuki fase jenuh di Indonesia. Nyatanya, tidak demikian terhadap produk perawatan tubuh. Market produk ini ternyata masih cukup luas apabila benar-benar digali.

Di tangan Laila Asri, 29, produk perawatan tubuh (body care) racikannya bisa melanglangbuana di beberapa negara di Asia Tenggara sampai Eropa. Padahal, ibu tiga anak ini mengawalinya dengan coba-coba.

“Saya suka merawat tubuh, tapi produk perawatan yang cocok buat saya kok selalu mahal karena impor. Saya pun browsing internet untuk menemukan resep peracikan produk perawatan tubuh. Saya tidak memiliki background pendidikan farmasi, demikian halnya suami, tapi saya punya teman yang kuliah di Jurusan Farmasi, dari dialah bisnis ini bermula,” ujar Laila mengawali cerita.

Melalui serangkaian uji coba, akhirnya produk racikannya siap dikomersialkan September 2007 dengan menggandeng rekanan dengan merek dagang Amour Pourvous, yang artinya Cinta Untukmu. Sayangnya, ketika dipatenkan sudah ada orang yang menggunakan nama Amour.

“Maka kami mengambil nama Pourvous saja, artinya ‘Untukmu’,” kata mahasiswi Ekonomi Manajemen Unair angkatan 2001 yang sampai saat ini belum menyelesaikan studinya ini.

Istri Adi Sufariyanto ini mengandalkan jualan secara online di www.mypourvous.com. Dari situlah order mengalir deras sampai saat ini. Jalur ekspor mulai terbuka, namun permintaan domestik masih paling tinggi.

Saat ini merek dagang Pourvous memiliki 22 item produk, jika ditambah varian jumlahnya menjadi 30 item, antara lain body lotion, body butter, body scrub, foot care, shower gel, massage oil, herbal wash,aromatic pillow, aromatic candel, home fragrance. Harganya mulai Rp 38.000-265.000. “Harga paling mahal ini untuk bantal aromatic,” jelasnya.

Sekali produksi, untuk per itemnya rata-rata 2.000-3.000 pieces dan mampu terserap pasar dalam tempo tak kurang dari tiga bulan. “Sulit menghitung omzet bulanan karena orderannya juga tidak tentu,” kelitnya halus.

Pourvous tak punya showroom khusus, kecuali kantor mungil di sebelah rumah Laila di kawasan elite Galaxy Bumi Permai. “Agustus nanti saya akan buka outlet pertama di Tunjungan Plaza. Mudah-mudahan bisa memperkuat penetrasi penjualan,” yakin Laila, yang kini memiliki sekitar 20 karyawan lepas.

Berdua dengan sang suami yang lulusan Teknik Mesin ITS, Laila optimistis jika bisnis yang ia bangun bisa memenuhi permintaan pasar sampai beberapa tahun ke depan. “Produk body care dari asing deras sekali serbuannya, tapi produk kita punya kekhasan, selain berlabel halal dari MUI juga bebas paraben, lanolin, synteric color, PABA. Sebetulnya bahan ini diperbolehkan BPOM namun kita pakai bahan pengganti yang aman yakni tokoferol,” imbuh wanita berdarah Banjarmasin ini.

Sebelum menjajal berbisnis produk perawatan tubuh, Laila sempat berbisnis pakaian muslim hingga bisnis MLM. “Itu dulu, waktu mahasiswa. Tapi sekarang masih jadi distributor pakaian muslim, tapi khusus anak,” lanjutnya.

Modal apapun ia pakai demi berwirausaha. “Menumbuhkan semangat wirausaha itu tidak gampang, tapi untungnya saya sudah terbiasa dari orangtua yang punya usaha persewaan kapal tongkang. Kalau keluarga dari suami, jiwa PNS-nya yang mendarah daging,” sambungnya.

Mengawali usahanya, Laila mengaku modalnya dari kocek pribadi dan pinjaman bank lewat kartu kredit. “Saya gesek kartu kredit untuk memenuhi order 150 paket parsel body scrub. Awalnya lumayan khawatir tidak bisa bayar cicilan ke bank, tapi Alhamdulillah lancar,” ujar Laila.

Pourvous kini tercatat telah mendapat penghargaan dari Kompetisi UKM 2008 oleh Majalah Femina & Kementrian Koperasi dan UKM, serta Pemenang I Regional Jawa Timur, Bali & Nusa Tenggara Wirausaha Muda Mandiri 2008 oleh Bank Mandiri.

Kuncinya kontinyu dan mudah diakses

Sebuah produk, apalagi yang bagi sebagian orang dianggap memiliki keunikan tersendiri, pasti akan selalu dicari, meski jangka waktunya tak bisa ditentukan. Itu pula yang terjadi pada produk UKM, termasuk produk daur ulang.

Keunikan dan kekhasan produk ini membuat orang terpikat. Sayangnya, tak mudah mencarinya, mengingat sebagian besar pelaku UKM tak memiliki workshop atau outlet yang permanen.
“Kita harus menyadari bahwa keterbatasan dana membuat mereka hanya bisa mengandalkan produksi, sementara pasarnya lebih banyak dihandle orang lain. Ini membuat banyak mata rantai antara hulu hingga hilir,” papar Liliek Noer, Ketua Asosiasi Perajin Jatim (APJ).

Sebenarnya, lanjut dia, kalangan UKM mampu melakukan semua, mulai produksi, pemasaran, hingga akses pasar. Namun masing-masing memiliki dana berbeda-beda. Padahal, untuk bisa kuat di pasar, pelaku UKM harus aktif mengikuti pameran, promosi secara manual maupun internet, hingga memiliki outlet.

Namun itu saja tak cukup karena konsumen butuh informasi berkelanjutan. Ini agar hubungan antara pelaku UKM dengan konsumen tetap terjaga. “Jangan sampai ketika pembeli ingin mencari kembali atau mereka yang pernah tahu akhirnya ingin membeli namun kehilangan kontak, yang rugi kita sendiri,” jelas Liliek.

Apalagi terhadap produk UKM yang belum banyak ditemui di pasar, seperti kerajinan berbahan limbah. Jika memiliki keunggulan tersendiri, bukan tidak mungkin akan banyak dicari konsumen.

Memang, Pemprov Jatim telah menyediakan fasilitas ruang pamer bagi UKM. Sayangnya, lanjut Liliek, fasilitas itu disediakan bagi UKM secara bergantian dengan masa 6 bulan. “Ini disayangkan, karena ketika calon pembeli ingin mendapatkan produk yang sama setahun kemudian, pasti mereka tidak bisa menemui lagi, meski memiliki alamat atau kontak person. Karena biasanya pembeli inginnya akses mudah dan cepat,” tegasnya.

Hal itu pula yang mungkin membuat sebagian UKM memilih untuk menyewa stan sendiri di pusat perbelanjaan. Seperti pusat kerajinan di Royal Plaza, juga di City of Tomorrow. “Asosiasi pun juga mewadahi mereka yang ingin mendisplay barangnya. Beberapa teman UKM dari bahan daur ulang juga membuka stan di sana. Ini untuk memudahkan akses pasar,” tandas Liliek.

Selain itu, ia berharap Pemprov Jatim lebih gencar menyosialisasikan Jamkrida yang notabene bertujuan memudahkan akses kredit bagi UKM tanpa agunan. “Kita perlu sosialisasi lebih detil, karena kenyataannya kalangan UKM masih kesulitan ketika mengajukan kredit di Jamkrida,” imbuhnya.
Ia optimistis, ketika akses pasar, permodalan, serta jaminan kontinyuitas itu dimiliki UKM, produk Jatim dalam 1-2 tahun ke depan akan kian dikenal luas dan mampu mengalahkan sentra produk UKM seperti Jateng, Jogjakarta, atau Bali. dio

Memilah sampah menuai berkah

Keberadaan limbah tak selalu merugikan. Kejelian menangkap potensi dan sedikit sentuhan inovasi bisa menjadikan barang-barang bekas ini bernilai lebih.

Aneka kerajinan berbahan dasar limbah alias barang bekas banyak sekali dijumpai di pasar. Mulai dari eceng gondok, sabut kelapa, plastik minuman kemasan, karton bekas, kertas koran, kaleng bekas, kain perca, hingga modifikasi berbagai bahan dasar tersebut.

Menurut Tyas Nastiti, salah seorang perajin limbah, mengolah bahan bekas menjadi sesuatu yang punya nilai jual memang butuh kejelian.

“Seseorang itu mesti punya taste tentang seni dan menyukai craft. Dengan begitu dia akan kreatif mencari sumber bahan yang murah dan melimpah,” ujar mahasiswi Jurusan Desain Produk ITS yang mengolah barang bekas praktikum menjadi aksesori cantik.
Ia mengawali bisnisnya ini juga dari hobi. “Kalau namanya sudah hobi, inovasi apapun pasti akan digali. Awalnya saya memang suka aksesori, tapi harganya kok mesti mahal. Iseng-iseng mengolah dari sisa bahan praktikum di perkuliahan, seperti potongan kain, tali, pita, karton, plastik, kertas, manik-manik. Jadilah kalung-kalung cantik,” jelas Tyas.

Produk daur ulang yang beredar di pasar Surabaya jumlahnya sudah menjamur, bahkan tak sedikit yang diekspor. Namun, yang namanya kerajinan tangan, usianya rata-rata tidak terlalu lama tergantung bahan dasarnya.

Macam budaya latah, kerajinan dari bahan daur ulang gampang ditiru. Market-nya gampang jenuh. Apabila si pencetus ide tidak sigap berinovasi maka produknya sesegera mungkin ditinggalkan pasar. “Namanya hand made maka harus punya ciri khas yang tentu saja dipatenkan,” ucap lajang kelahiran 14 Desember 1990 ini.

Mengusung label Meralodist (singkatan dari ketiga orang penggagas usaha ini, Amera, Alodia, Nastiti), kalung buatannya ini melanglang hingga ke luar pulau.

“Paling jauh pembeli dari Aceh dan Lombok. Mereka beli 10-15 pieces. Harga per pieces rata-rata Rp 30.000-40.000. Kalau beli lebih dari 10 bebas ongkos kirim,” akunya. Ia mengaku tidak memroduksi terlalu banyak lantaran juga masih fokus studi.
Produksinya dibikin per tema. Urusan desain dipercayakan pada temannya. Per bulan bisa laku 100-150 pieces. Atas keuletannya itu, Tyas berhasil mendapatkan dana hibah Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dari Dirjen Dikti sebesar Rp 6,9 juta.

Produksi By Order
Indar Nurtrihansyah, mahasiswa Jurusan Teknik Industri ITS pencetus kerajinan berbahan dasar serabut atau sabut kelapa mengaku, jika Jatim punya sumber bahan daur ulang yang melimpah. Nilai ekonomian produk daur ulang biasanya lebih baik apabila pengolahan dan packaging-nya juga menarik.

“Kita sering lihat sabut kelapa melimpah di pinggir jalan. Melalui seorang kenalan perajin di Malang, sabut itu bisa dipakai untuk craft. Sabut kelapa diproses dengan mesin press atau mesin gerinda, dicacah lalu dikeringkan untuk dijadikan serbuk seperti pasir,” jelas Indar.

Lalu ditempel di atas kertas karton yang telah dibentuk sesuai keinginan. Tempat tissue, box file, jam dinding, tabungan alias celengan, sampul buku suvenir dengan kertas daur ulang, serta kap lampu. Bagian atasnya dihias sesuai selera.

“Saya dan teman-teman yang menggarap usaha ini dapat dana PKM dari Dikti Rp 5 juta untuk pengembangan usaha. Awalnya dana yang kita kumpulkan cuma Rp 1 juta,” imbuh pria kelahiran Semarang 13 Februari 1989 ini.

Usaha yang digarap rame-rame dengan teman jurusannya ini dijamin tak mengganggu kuliah lantaran proses penggarapannya dilakukan saat weekend. “Kalau proses produksinya di Malang, karena bahan baku di sana banyak sekali. Ide, desain dan finishing dilakukan di Surabaya,” kata Indar. Pengembangan ide menggunakan desain animasi dan 3D.

“Berhubung masih sangat awal, kita produksinya by order. Belum punya galeri atau outlet khusus. Pemasarannya lebih aktif melalui website www.cocosnoot.com dan rajin ikut pameran,” ujarnya.
Harga jual per pieces cukup terjangkau, sekitar Rp 30.000. “Tapi kita juga terima order dengan desain sesuai keinginan pembeli. Semakin rumit desainnya tentu harga akan menyesuaikan,” katanya.
Dalam seminggu, ia dan kawan-kawannya bisa memroduksi minimal 20 pieces. “Selain untuk koleksi pribadi, biasanya produk kita dipakai untuk suvenir pernikahan,” ujarnya.

Salah satu penggemar produk daur ulang, Nina Wulandari mengungkapkan, nilai seni produk recycle amat tinggi. “Nggak heran kalau harganya agak mahal dibandingkan produk sejenis tapi bahan dasarnya bukan dari recycle,” kata gadis belia 17 tahun ini.

Kerajinan dari bubur koran, sandal dan tas dari bahan eceng gondok adalah koleksi produk daur ulang yang terpampang di rumahnya. “Yang ngenalin kerajinan daur ulang itu kakak aku,” pungkas Nina. ame